Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar*
Abu Bakar bertanya, “Demi Allah sesungguhnya kami pun mengalami keadaan seperti itu?” Lalu, Abu Bakar berangkat hingga kami masuk ke ruangan Rasulullah, saat itu aku berkata, “Hanzalah menjadi seorang munafik wahai Rasulullah!”
Beliau bertanya, “Apa yang terjadi?” Lalu, aku jawab, “Kami berada di samping engkau saat engkau menjelaskan kepada kami tentang neraka dan surga. Saat itu seolah-olah kami melihat surga dan neraka dengan mata kepala sendiri. Namun, ketika kami keluar dari sisimu, kami tenggelam oleh urusan anak, istri, dan hal-hal yang sia-sia, kami banyak lupa.”
Lalu, Nabi menjawab, “Demi Zat Yang Maha Menguasai jiwaku, seandainya kalian terus-menerus mengalami apa yang kalian alami saat berada di sisiku dan terusmenerus berzikir, niscaya para malaikat akan menyalami kalian di tempat-tempat pembaringan kalian dan di jalan-jalan yang kalian lalui. Hanya saja wahai hanzalah, itu hanya terjadi sewaktu-waktu.” Beliau mengulang-ulangi perkataan ini tiga kali. (HR Muslim dan Tirmizi).
Dalam riwayat lain juga dijelaskan, sebagaimana diceritakan oleh Imam Bukhari dalam kitab Kitab “Jam’ul Fawaid”. Imam Bukhari meriwayatkan dari Usaid bin Hudhair, ketika ia membaca Surah Al-Baqarah di malam hari, sementara kudanya ditambatkan di sampingnya tiba-tiba kudanya meronta-ronta.
Ia menenangkan kudanya hingga tenang lalu melanjutkan bacaannya lagi, kembali kudanya meronta-ronta kemudian kembali menenangkan lagi. Kejadian ini berulang tiga kali. Ia juga memperingatkan anaknya bernama Yahya agar menjauhi kudanya agar tidak disakiti.
Usaid menengadah langit dan disaksikan ada naungan yang di dalamnya terdapat pelita besar. Ketika pagi tiba, ia melaporkan kejadian ini kepada Nabi. Nabi berkata, ‘Bacalah terus (Alquran itu) wahai Usaid!’ diulangi tiga kali. Aku juga menengok ke langit ternyata aku juga menemukan hal yang sama.
Nabi memberikan komentar, “Itu adalah para malaikat yang mendekati suaramu. Seandainya kamu terus membaca (Alquran) keesokan paginya manusia akan melihat para malaikat yang tidak lagi menyembunyikan wujudnya dari mereka.”
Ketiga hadis shahih di atas mengisyaratkan adanya penyingkapan (kasyaf), yaitu kemampuan seseorang untuk melihat atau menyaksikan sesuatu yang bersifat gaib, seperti melihat, mendengar, atau merasakan adanya suasana gaib. Apa yang disaksikan itu ber ada di luar kemampuan dan jangkauan akal pikiran manusia normal.
Kasyaf tidak hanya terjadi pada diri seorang nabi atau rasul yang dibekali dengan mukjizat, tetapi manusia biasa yang mencapai maqam spiritual tertentu juga bisa menyaksikannya, walaupun sudah barang tentu, kapasitas kasyaf tersebut berbeda dengan penyaksian yang dialami oleh para nabi atau rasul.
* Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah/Wakil Menteri Agama