REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelidikan dan penyidikan terkait kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah tidak perlu mendapat persetujuan tertulis dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kejaksaan Agung (Kejagung) menyambut baik putusan MK tersebut.
"Kami menyambut baik keputusan tersebut. Dengan demikian tidak ada lagi diskriminasi hukum antara penyidik di Indonesia," kata Wakil Jaksa Agung Darmono di Jakarta, Rabu (26/9). Darmono menegaskan memang seharusnya seperti itu putusan MK terkait penanganan kasus kepala daerah.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tidak perlu persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.
Menurut MK, dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan.
Pengujian UU Pemda ini dimohonkan sejumlah aktivis antikorupsi yaitu Indonesia Corruption Watch (ICW), Feri Amsari (Dosen FH Andalas), Teten Masduki (Sekjen TII), dan Zainal Arifin Mochtar (Direktur Pukat UGM).
Para pemohon meminta MK membatalkan/menghapus Pasal 36 UU Pemda yang mengatur prosedur pemeriksaan izin kepala daerah yang terlibat kasus hukum oleh presiden itu.
Sebelumnya dilaporkan, Kejagung saat ini tengah menangani enam dugaan korupsi yang dilakukan kepala daerah di antaranya dugaan korupsi divestasi saham PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang dilakukan Gubernur Kaltim Awang Farouk Ishak.
Sampai sekarang, Kejagung belum memeriksa orang nomor satu di Kaltim itu dan selalu beralasan belum mendapatkan izin dari presiden. Bahkan Awang Farouk hadir dalam acara Rapat Kabinet Terbatas yang digelar di Kejagung.