REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Rekomendasi Munas Nahdatul Ulama tentang moratorium membayar pajak merupakan ekspresi kekecewan terhadap lemahnya akuntabilitas pengelolaan pajak di Indonesia.
"Ancaman NU memboikot pembayaran pajak mencerminkan penolakan pada pengempelang pajak," kata Ketua PBNU, M Imam Azis saat acara dialog publik " Pajak dari Rakyat untuk Siapa" yang diselenggaran Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR, Selasa (16/10), di kompleks MPR/DPR, Senayan Jakarta.
Sampai saat ini pajak masih menjadi sektor utama pengisi kas negara. Dalam APBN 2012 besaran kontribusi pajak mencapai 70 persen dan diperkirakan pada 2013 mencapai 80 persen.
Sayangnya, kritik Azis, skema belanja negara tak jauh berbeda dengan masa Orde Baru. Dana pajak lebih diprioritaskan untuk membayar gaji pegawai dan ongkos jalan-jalan pejabat negara.
Azis menyatakan moratorium pajak yang diserukan NU mafhum terjadi di berbagai belahan dunia. Seruan itu dimaksudkan agar pemerintah serius menggunakan dana pajak untuk memenuhi hak warga negara. "Pajak mesti diarakan untuk pendidikan, pengentasan kemiskinan, pengangguran, dan layanan publik, yang lebih bermatabat," katanya.
Pemerintah mesti mengambil langkah serius terkait skema pembelajaan dana pajak. Selain itu perlu juga dilakukan efisiensi dan peningkatan akuntabilitas pengelolaan pajak. "Pemerintah mesti memiliki road map yang jelas dan rencana terukur di bidang pajak," tandasnya.