REPUBLIKA.CO.ID, Persoalan berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, khususnya terhadap kerabat yang bukan mahram menjadi polemik tersendiri.
Seperti anak paman atau anak bibi, istri saudara ayah atau istri saudara ibu, saudara wanita dari istri, atau wanita-wanita lainnya yang ada hubungan kekerabatan atau persemendaan .
Hal ini lebih menjadi suatu dilema jika dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahniah (mengucapkan selamat) dan berjabat tangan antara yang satu dengan yang lain.
Sementara banyak para muballigh yang mengharamkan bersalaman dengan lawan jenis, namun apakah memang ada nash Alquran atau as-Sunnah yang mengharamkan hal tersebut?
Apalagi dalam hal kekeluargaan tentu sudah banyak motivasi yang melatarinya, disamping ada rasa saling percaya, aman dari fitnah, dan jauh dari rangsangan syahwat.
Sedangkan bagi orang yang bersikap tidak mau berjabat tangan, maka mereka ini dipandang orang-orang kolot dan fundamentalis. Hal itu juga dianggap akan merendahkan wanita, selalu berprasangka buruk kepada para wanita, dan sebagainya.
Menurut Syekh Yusuf Al-Qardhawi, masalah hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan merupakan masalah yang amat penting, dan untuk menfatwakan hukumnya tidak bisa dilakukan dengan seenaknya. Haruslah sang mufti (orang yang berfatwa) memiliki kesungguhan dan pemikiran yang optimal serta ilmiah.
Hal ini agar seorang mufti bebas dari tekanan pikiran orang lain atau pikiran yang telah diwarisi dari masa-masa lalu. Apabila tidak didapati acuannya dalam Alquran dan As-Sunnah sehingga argumentasi-argumentasinya dapat didiskusikan untuk memperoleh pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati kebenaran menurut pandangan seorang faqih.