Kamis 18 Oct 2012 11:32 WIB

Aturan Islam tentang Harta Rampasan Perang (1)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: wallpaper.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Harta rampasan dalam Islam disebut dengan ghanimah. Ghanimah secara semantik berarti apa yang diperoleh manusia melalui usaha.

Dalam terminologi fikih berarti rampasan perang, yakni harta yang diperoleh dari musuh Islam melalui peperangan dan pertempuran yang pembagiannya diatur oleh agama.

Ghanimah meliputi harta yang dapat dibawa dari perang, tawanan, dan tanah. Istilah-istilah yang berkaitan dengan ghanimah adalah nafal (jamaknya anfal) yang berarti tambahan, salab yang berarti rampasan.

Sayid Sabiq (ahli fikih asal Mesir) mengidentikkan ghanimah dengan nafal. Akan tetapi, menurut Wahbah Az- Zuhaili, guru besar ilmu fikih Universitas Damaskus, Suriah, keduanya berbeda.

Menurutnya, nafal adalah harta rampasan perang yang diberikan oleh imam secara khusus untuk tentara tertentu sebagai dorongan kepadanya agar aktif bertempur. Dinamakan demikian karena ia merupakan tambahan hak seseorang atas rampasan perang, lebih dari hak (saham) yang dimilikinya dalam pembagian harta ghanimah.

Salafa adalah perlengkapan perang (termasuk kuda atau unta yang ditunggangi) yang berhasil dirampas tentara Islam dari prajurit musuh yang dibunuhnya. Adapun fai adalah harta (rampasan perang) yang diperoleh dari musuh tanpa terjadinya pertempuran.

Harta fai dapat muncul melalui banyak cara, seperti melalui perdamaian, jizyah, dan kharaj (pajak tanah). Harta fai' dapat juga timbul karena seorang musuh memasuki wilayah Islam membawa harta, kemudian hartanya diambil oleh umat Islam, atau terjadi karena tentara musuh lari meninggalkan harta bendanya sebelum terjadinya peperangan.

Di zaman jahiliah, masa sebelum Islam, kabilah- kabilah Arab jika menang dalam berperang akan mengambil ghanimah (harta yang dapat dibawa, tawanan, dan tanah) dan membagi-bagikannya kepada orang yang ikut serta berperang. Ketua mereka mendapat bagian yang besar.

Setelah Islam, adat kebiasaan yang sudah berjalan jauh sebelum Islam ini dikukuhkan. Ajaran Islam menyatakannya sebagai harta yang halal, dengan perbaikan-perbaikan tertentu berkenaan dengan cara pembagiannya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement