REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG – Palang Merah Indonesia (PMI) se-Indonesia telah mendatangani MoU dengan Kementerian Pendidikan agar seluruh sekolah dari jenjang SMP sampai SMA memiliki ekskul PMR.
Namun, hal ini dianggap memberatkan oleh sebagian daerah. PMI Kota Tangsel misalnya, agak kelabakan dengan kebijakan pemerintah tersebut.
“Tentu saja kami agak kelabakan. Boleh dikatakan PMI Kota Tangsel masih amat muda, usia kami baru empat tahun, tapi kami dikejar target yang berat,” Kepala Bagian Pelayanan kesehatan sosial PMI Kota Tangsel, Bambang S, Rabu (24/10).
“Tahun depan diharuskan 150 sekolah yang tersisa harus memiliki ekskul PMR. Dan itu adalah tugas kami,” imbuhnya.
Menurut Bambang, apa yang dihadapi oleh PMI Kota Tangsel kini bagai buah simalakama. Pasalnya, di satu sisi—sesuai MoU—PMI harus meningkatkan jumlah sekolah penyedia ekskul PMR di Kota Tangsel.
Namun di sisi lain, bila jumlah sekolah penyedia ekskul PMR bertambah, PMI malah akan tambah kesulitan menanganinya karena masalah keterbatasan tenaga pelatih.
Apa yang dihadapi Bambang dan rekan-rekannya cukup mengancam eksistensi organisasi tersebut di Kota Tangsel. Hingga saat ini, ia dan kawan-kawannya sesama sukarelawan mengaku sangat khawatir. Mereka takut bila sampai keterbatasan pelatih ini malah menghambat munculnya kader-kader muda pengganti mereka untuk menjadi relawan PMI.
Bambang tidak ingin bila nantinya PMI Kota Tangsel tak memilik satu pun relawan, saat ia dan rekannya yang lain sudah tak lagi aktif. Karena menurutnya, semua aktivitas PMI hanya dapat dilaksanakan oleh para relawan.
Bahkan, kata dia, dari mulai perangkat organisasi hingga tim di lapangan semua adalah relawan. Oleh sebab itu, kehadiran relawan jelas sangat dibutuhkan. “Kami sudah coba koordinasikan ini dengan pemerintah daerah. Respons mereka positif, katanya akan dibantu cari pelatih yang kompeten,” ujarnya.
“Kini saya juga mengajak masyarakat yang berjiwa relawan untuk bergabung dan membantu kami, khususnya bagi yang sudah terbiasa melatih,” pungkas Bambang.