Kamis 25 Oct 2012 15:51 WIB

Hatta: Inefisiensi PLN Karena Kurangnya Pasokan Gas

Red: Taufik Rachman
Hatta Radjasa
Foto: Antara
Hatta Radjasa

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan inefisensi bahan baku premier yang dilakukan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) lebih dikarenakan terbatasnya infrastruktur penyaluran gas untuk bahan bakar pembangkit listrik.

"Kita terlambat membangun infrastruktur, (persediaan) gas itu ada di Kalimantan, Papua dan Maluku. Sedangkan industri adanya di Jawa dan Sumatera," ujarnya di Jakarta, Kamis.

Hatta menjelaskan inefisiensi seperti yang dipaparkan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga terjadi karena PT PLN ingin meningkatkan elektrifikasi, padahal banyak pembangkit yang masih menggunakan solar sebagai bahan bakar.

"PLN ingin meningkatkan elektrifikasi, menghilangkan mati listrik jadi ada biaya yang timbul akibat penggunaan solar. Lalu ketersediaan gas belum mencukupi, jadi banyak pembangkit yang masih menggunakan BBM," katanya.

Untuk itu, ia mengharapkan kebutuhan gas untuk pembangkit listrik dapat dipercepat apalagi pemerintah saat ini lebih memprioritaskan gas alam Indonesia untuk kebutuhan dalam negeri, tidak lagi untuk ekspor.

"Dulu kebijakan energi kita dijual untuk mendapatkan devisa, tapi sekarang kita perbaiki. Kalau ketemu gas kita utamakan dalam negeri, untuk memenuhi pupuk dan industri kita termasuk PLN sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan energi kita," ujarnya.

Hatta mengatakan salah satu infrastruktur penyalur gas yang dapat dimaksimalkan adalah operasional terminal apung gas (Floating Storage Regastrification Unit/FRSU) yang dapat bermanfaat selain untuk pembangkit listrik, namun juga untuk kebutuhan industri.

"Sekarang FRSU-nya sudah jadi yang ada di Laut Jawa, ini yang harus dipercepat jadi (terminal) gas untuk penyediaan PLN dan industri," ucapnya.

Berdasarkan laporan Hasil Pemeriksaan BPK, PT PLN dinilai gagal melakukan efisiensi kinerja manajemen dan salah satu kegagalan yang dimaksud adalah inefisiensi bahan baku primer pembangkit listrik senilai Rp 37,8 triliun.

Dengan demikian, BUMN listrik tersebut kehilangan kesempatan untuk menghemat biaya bahan bakar senilai Rp 17,9 triliun pada 2009 dan Rp 19,6 triliun pada 2010.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement