Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Dalam perspektif ilmu hudhuri, manusia pada dasarnya lahir dalam keadaan sempurna secara potensi.
Kelahiran manusia sudah diuji langsung kesiapannya oleh Allah SWT, apakah sudah layak hidup di dunia atau belum dengan pertanyaan primordial, “Alastu bi Rabbikum qalu bala syahidna?”
“Apakah engkau mengakui Aku sebagai Tuhanmu? Dijawab, “Iya sudah pasti.” Akhirnya manusia lahir di muka bumi ini dengan kecerdasan standar.
Kalau manusia belajar itu dimaksudkan untuk mengingatkan kembali apa yang pernah diketahui namun dilupakan kembali. Dalam pandangan ini manusia disebut pelupa (al-ghafil) atau mengingat (adz-dzakir).
Sedangkan, dalam perspektif ilmu hushuli manusia digambarkan sebagai makhluk yang bodoh (al-jahil) karena itu perlu belajar agar menjadi pintar (al-‘alim).
Kedua perspektif tersebut tidak mesti dipertentangkan satu sama lain. Kita bisa menyatukan antara perspektif hushuli (Musa) dan perspektif hudhuri (Khidhir), sebagaimana istilah majma’ albahrain (penyatuan dua lautan keilmuan), seperti Allah SWT menghilangkan polarisasi timur (al-masyriq) dan barat (al-magrib).
Sebagaimana disebutkan dalam ayat, “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Mahamengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 115).
Perjalanan spiritual ikut membantu seseorang untuk mendekatkan jarak, bahkan menyatukan antara kedua perspektif keilmuan tersebut. Orang yang suka berpikir simplistis dan didominasi pola pikir dialektik, dengan selalu mengedepankan prinsip negasi (principle of negation), maka sesungguhnya orang itu memerlukan perjalanan spiritual.
Jika orang itu sudah mulai arif dan lebih mengedepankan titik temu (principle of identity) maka sesungguhnya dia sudah menemukan prinsip hidup. Karena itu, Alquran menyindir orang-orang yang tidak pernah melakukan safar.
Sebagaimana dituangkan dalam ayat, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS al- Hajj [22]: 46).