REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Pertimbangan pemberian grasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada terpidana narkotika kembali dipertanyakan. Pasalnya, Meirika Franola yang mendapatkan grasi dari hukuman mati dua bulan silam diduga menjadi otak penyeludupan narkotika atas nama NA yang ditangkap di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Ahad (4/11).
Wakil Ketua MPR, Hadjriyanto Y Thohari menilai, peristiwa ini kian menghadirkan ironi di wajah hukum Indonesia. ‘’Pemberian grasi kepada terpidana mati Meirika Franola alias Ola dua bulan lalu saja sudah merupakan ironi yang paling ironis dalam konteks perang melawan narkoba. Kini tambah ironi lagi,’’ katanya di Jakarta, Selasa (6/11).
Menurut dia, kejadian terkini menjadi bukti yang nyata bahwa pemberian grasi pidana hukuman mati menjadi seumur hidup yang dilakukan SBY tidak berdasarkan penelitian yang cermat terhadap si terpidana. Ia malah khawatir kondisi yang sebenarnya lebih parah, yakni adanya unsur kesengajaan.
‘’Kesengajaan itu dilakukan secara sistematis sedemikian rupa sehingga sampai diajukan kepada presiden. Walhasil, kepala negara telah dikelabui oleh oknum
tertentu sehingga usulan permohonan grasi itu sampai ke tangannya dan disetujui,’’ jelas Ketua DPP Partai Golkar tersebut.
Pasalnya, fakta bahwa ternyata si penerima grasi tidak mengubah perilaku si terpidana memberi bukti kuat unsur rekayasa dalam pemberian grasi tersebut. Hadjriyanto menilai, rekayasa itu sangat meyakinkan sehingga grasi bisa dikeluarkan dengan melibatkan simpul-simpul penting dan strategis.
Ia menyebut simpul itu adalah pihak pihak yang menurut konstitusi berhak dan berkewajiban memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pemberian grasi kepada terpidana mati itu. Presiden, imbuhnya, juga harus meneliti dan mengusut pihak-pihak yang awalnya mengajukan usulan jahat pemberian grasi.