REPUBLIKA.CO.ID,Pengusaha tambang mineral kini bisa bernafas lega. Mahkamah Agung mengabulkan sebagian dari gugatan Asosiasi Nikel Indonesia (ANI) terhadap Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.
Bagi ANI, dampak dari terbitnya Peraturan Menteri itu tidak hanya memunculkan pengangguran dan kemiskinan saja. Regulasi itu juga melemahkan semangat otonomi daerah. Sebab, Permen itu telah mengamputasi Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, dan Undang Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). ''Kami bukannya menolak kebijakan hilirisasi industri tambang, namun kami ingin mempersiapkan diri lebih matang lagi, sehingga pada 2014 nanti kita bisa mengolah sendiri hasil tambang, kita tidak mengekspor bahan mentah lagi,'' ujar Ketua ANI, Shelby Ihsan Saleh, kepada ROL, Kamis Pagi (8/11).
Ihsan menambahkan, pascaditerbitkannya Permen ESDM No.7 Tahun 2012 itu, dunia pertambangan di Tanah Air juga sempat lesu. Kebijakan yang pada intinya melarang ekspor sejumlah bahan tambang mineral secara mentah ini menjadi pukulan mematikan bagi sebagian besar industri pertambangan nasional. Hal itu disebabkan belum siapnya kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, baik dari segi infrastruktur maupun dari kondisi pasar di dalam negeri sendiri yang belum mampu menyerap produksi hasil tambang. Akibatnya, perusahaan-perusahaan tambang terpaksa mengurangi produksi yang berakibat pada pengurangan jumlah tenaga kerja hingga berujung pada penghentian produksi.
“Meski pemerintah telah berusaha merevisi Permen ESDM No. 7 Tahun 2012 tersebut dengan mengeluarkan Permen ESDM No. 11 Tahun 2012, namun dengan putusan MA ini secara otomatis telah membatalkan aturan ini. Artinya, revisi Permen ESDM ini gugur dengan sendirinya,” urai Shelby.
Implikasi terhadap terbitnya Permen ini telah menambah jumlah pengangguran di Tanah Air. Data Central Informasi Solidaritas Pekerja Tambang Nasional (SPARTAN) dari 6 propinsi di Indonesia yang antara lain, mulai dari Aceh, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Maluku menyebut bahwa sudah ada 499 perusahaan yang telah mem-PHK pekerja tambang sebanyak 235.823 orang.
Dari data yang dihimpun Spartan juga memperlihatkan bahwa banyak sektor yang mengalami kerugian berantai akibat kebijakan pemerintah tersebut, antara lain yang pertama, dari 499 perusahaan yang kami himpun di 6 propinsi setidaknya mengalami kerugian investasi yang bernilai total mencapai Rp. 47.590.000.000.000,- (Rp.4,7 Triliun lebih).