REPUBLIKA.CO.ID, Said Nursi tidak puas dengan sistem pendidikan yang ada di Turki Usmani.
Pada 1907, ia berangkat ke Istanbul untuk menyampaikan usulan kepada pemerintah agar mendirikan Universitas Zahra yang memadukan sains dan iptek dengan agama.
Sayangnya, impiannya itu tak tercapai karena keburu pecahnya Perang Dunia I dan kondisi Turki Usmani yang tidak stabil.
Ketika konstitusi kedua diundangkan dalam sistem Pemerintahan Turki Usmani pada 23
Juli 1908, Said Nursi mendukung pemerintahan konstitusional.
Perhatiannya lebih difokuskan pada kegiatan orasi dan menulis makalah-makalah sebagai media untuk menjelaskan makna kebebasan dalam Islam dan pengaruh Islam dalam kehidupan politik.
Pada 1911, Said Nursi berangkat ke Damaskus untuk menyampaikan khutbah di Masjid Umayyah tentang kondisi umat Muslim dan cara mengatasi masalah-masalahnya. Khutbah itu, beberapa tahun kemudian, diterbitkan dalam sebuah risalah berjudul “Hutbe-I Samiye”.
Cinta tanah air
Sejatinya, Nutdi adalah seorang yang cinta damai, namun ia sangat cinta tanah airnya. Ketika Perang Dunia I meletus dan Turki Usmani pun terlibat, ia pun dengan sigap memanggul senjata dan bergegas ke medan perang.
Said Nursi bersama para muridnya dengan segala daya yang dimiliki turut serta menghadapi tentara Rusia.
Selama terlibat dalam pertempuran itu, ia tetap mencurahkan waktunya untuk ilmu pengetahuan. Saat perang saja, ia berhasil menyusun tafsirnya yang sangat berharga yang berjudul “Isyarat al-I’jaz Fi Mazhan al-Ijaz” dalam bahasa Arab.
Penyusunan tafsir ini dikerjakan dengan cara didiktekan kepada seorang muridnya yang bernama Habib. Ketika pasukan tentara Rusia memasuki Kota Bitlis, bersama para muridnya ia berjuang untuk mempertahankannya.
Ia tertangkap oleh pasukan Rusia dan dibawa ke salah satu satu markas tawanan militer di Qosturma yang terletak di timur Rusia. Saat berada di pengasingan sebagai tawanan perang selama dua tahun, Said Nursi berhasil melarikan diri setelah meletusnya Revolusi Bolsyevik.