REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Untuk menjamin keamanan pangan, manusia membutuhkan bioteknologi. Namun, siapa yang diuntungkan dari bioteknologi melalui produksi pangan hasil rekayasa genetika (RG) tersebut? rakyat yang kelaparan, dunia, atau perusahaan agribisnis global?
Dosen senior bidang riset lingkungan dari Fitzwilliam College, London, Bhaskar Vira, memaparkan di sela-sela pemilihan presiden Amerika Serikat (AS), pemungutan suara di California berdebat tentang tantangan presiden AS dalam misi keamanan pangan global. Hasilnya sangat tipis.
"Sebanyak 52,8 persen penduduk California menentang penjualan makanan hasil RG," kata Vira, dikutip dari the Guardian, Jumat (23/11).
Penerapan pangan RG hanya akan memperbanyak birokrasi dan akhirnya mengikat kaum petani dalam usaha pertanian yang berlitigasi mahal. Petani akan semakin tertindas karena masalah hak paten.
Sisanya, 47,2 persen penduduk California mendukung penjualan makanan hasil RG. Syaratnya perusahaan wajib memberi label khusus yang menandakan satu jenis makanan merupakan hasil RG.
Rakyat California menegaskan mereka berhak mengetahui persis apa yang mereka makan. Pelabelan makanan adalah cara tepat yang memungkinkan konsumen mampu membuat pilihan tepat pada makanannya.
Dosen senior Departemen Geografi, University of Cambridge, David Nally, menambahkan Amerika masih mengalami kontroversi tentang penggunaan teknologi genetika dalam industri makanan. Rakyat khawatir tentang keamanan hayati.
"RG tak mengenal hal netral dalam teknologi. Sebab, perusahaan-perusahaan besar mematenkan pendistribusian pangan RG miliknya," kata Nally.