REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti senior Pusat Penelitian Masyarakat dan Kebudayaan LIPI Muhammad Hisyam mengatakan bahwa untuk menghidupkan bahasa etnik yang terancam punah itu bisa dilakukan dengan revitalisasi.
"Ada dua tujuan utama revitalisasi bahasa. Pertama, memberikan kesadaran pada segenap masyarakat bahwa bahasa etnik adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan," kata Muhammad Hisyam yang dihubungi di Jakarta, Jumat.
Kedua, lanjutnya, mengajak masyarakat menggunakan bahasa pagu kembali.
"Tujuan yang pertama mengandung sifat persuasif. Sifat ini memberi makna bahwa masyarakat/suku tertentu akan tetap ada hanya apabila bahasa etnik dan budayanya masih dipakai," kata dia.
Menurut dia, berbicara mengenai hubungan suatu kelompok masyarakat dengan bahasanya berarti menyinggung mengenai jati diri masyarakat itu sendiri.
"Sebuah masyarakat tanpa bahasanya sendiri adalah seperti masyarakat tanpa budaya sehingga bisa dikatakan mereka tidak mempunyai jatidiri," ujar dia.
Ia mencontohkan, bahasa Pagu yang berada di Kabupaten Halmahera Utara semakin melemah disebabkan Orang Pagu berbahasa Pagu hanya berkomunikasi dengan sesamanya, sementara lingkungan mereka terkepung oleh suku lain yang berbahasa berbeda pula.
"Pada umumnya, orang yang berusia 40 tahun ke bawah tidak dapat berbahasa Pagu. Hasil survei pada 2011 sebesar 64,7 persen. Semakin tinggi usia seseorang semakin mampu berbicara Pagu," ujar dia.
Sehingga, kata dia, harus ada tindakan nyata untuk mengajak masyarakat Pagu menggunakan kembali bahasanya. Ini berarti bahwa para peneliti dan pemerhati bahasa terancam punah memiliki tanggung jawab untuk memfasilitasi dari mulai menyediakan bahan.
"Misalnya pelajaran bahasa Pagu di tingkat SD (muatan lokal), menumbuhkankembangkan lagu daerah, menerjemahkan doa dan lain sebagainya yang menunjang kegiatan penggunaan bahasa mereka kembali," kata dia.
Sebelumnya, Pakar linguistik Universitas Indonesia, Prof Multamia RMT Lauder, mengatakan, sebanyak 169 bahasa etnik di kawasan Indonesia Timur hanya dituturkan 500 orang sehingga masuk ke dalam golongan bahasa yang terancam punah.
"Penuturnya kurang dari 1000 maka masuk golongan bahasa yang terancam punah karena kalau orang yang mengucapkannya sedikit akan sulit bertahan," kata Multamia RMT Lauder dalam diskusi "Pengembangan dan Perlindungan Kekayaan Budaya" di Jakarta.
Menurut Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI tersebut, kepunahan bahasa etnik disebabkan oleh aturan adat seperti hanya raja yang boleh mengakses dokumen-dokumen kuno.