REPUBLIKA.CO.ID, CIPUTAT -- Sistem politik menjadi penyebab meningkatnya jumlah perempuan yang melakukan korupsi.
Hal ini disampaikan perwakilan Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dalam diskusi publik peringatan hari ibu dengan tema "Perempuan Bicara Korupsi", Sabtu (22/12).
Berdasarkan data Mahkamah Konstitusi, pada 2008, dari 22 kasus korupsi, ada dua perempuan yang terlibat dalam kasus korupsi. Angka ini meningkat pada 2011, yang mencapai 11 perempuan.
Asisten Pimpinan Komnas Perempuan Yulianti Muthmainah menyatakan, sistem politik yang ada saat ini memang mendorong orang untuk melakukan korupsi. Sebagai contoh, di parlemen atau Pilkada, setiap orang yang ingin mendaftar biasanya sudah diminta uang. Kemudian nantinya orang itu pasti mencari uang untuk mengembalikan modal.
"Tapi saya percaya, koruptor perempuan itu biasanya bukan pelaku utama. Tapi hanya sebagai kurir atau terlibat saja," kata Yulianti kepada Republika, Sabtu (22/12).
Yulianti menambahkan, kecenderungan perempuan untuk melakukan korupsi lebih rendah dibandingkan laki-laki. Yulianti pun mengacu pada data, 93,4 persen pelaku korupsi adalah laki-laki.
"Kami tetap mendorong keterwakilan 30 persen perempuan di politik dan juga perempuan bisa memegang posisi penting di pemerintahan," ujarnya.
Selain itu, Yulianti juga menyoroti ketimpangan pemberitaan terhadap koruptor perempuan. Menurutnya, apabila pelaku korupsinya itu perempuan yang ditonjolkan justru aspek-aspek lain, seperti tubuhnya, dandanannya, dan wajahnya.
"Seharusnya kan yang diberitakan proses hukum yang sedang berjalan, fakta pengadilan, dan sejauh mana keterlibatan perempuan tersebut," ujarnya.