REPUBLIKA.CO.ID, Zikir berjamaah tidak pernah sekalipun terlaksana semasa Rasulullah hidup.
Karena itu, Ibnu Taimiyah juga menegaskan, Rasul dan para sahabatnya tidak berzikir berjamaah, baik ketika shalat Shubuh, Ashar, atau shalat lainnya.
Usai shalat, justru waktu itu dipergunakan oleh Rasulullah untuk menyampaikan nasihat dan pelajaran agama.
Sedangkan, kubu yang kedua, kata Prof Kamal, tidak sependapat dengan pihak pertama. Menurut mereka, tak ada larangan pelaksanaan zikir berjamaah. “Bahkan, para salaf menganjurkannya. Imam Malik dalam Muwatha, memperbolehkan zikir yang dibaca secara berjamaah.”
Ibnu Qudamah yang bermazhab Hambali juga demikian. Ini seperti terdapat di kitab “Al-Mughni”. Pernyataan serupa juga terdapat di kitab “Al-Umm” karya Imam Syafi’i. Mazhab Hanafi juga berpandangan bahwa hukum zikir berjamaah boleh. Ini seperti dinukilkan dari “Al-Bahr ar-Raiq” dan “Durar al-Ahkam”.
Karenanya, Imam Nawawi menegaskan, zikir berjamaah dengan bersuara tidak dilarang, bahkan disunahkan. Menurut Mazhab Syafi’i, bahkan lebih utama. Ini juga merupakan salah satu pendapat imam Ahmad dan Malik, seperti dinukilkan oleh Ibnu Hajar.
Salah satu dasar yang dijadikan dalil ialah hadis riwayat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri yang diriwayatkan oleh sejumlah imam, yaitu Muslim, Ibnu Majah, Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, dan Abi Syaibah, serta al-Baihaqi.
Hadis itu menegaskan, tidaklah berkumpul suatu kaum duduk bersama lalu berzikir kepada Allah, kecuali mereka akan dilindungi oleh para malaikat.
Atas dasar inilah, Imam Suyuthi menyanggah pendapat mereka yang menolak dan melarang zikir bersuara atau berjamaah. Pendapatnya itu tertuang dalam risalah kecil yang berjudul “Natijat al-Fikri fi al-Jahri bi adz-Dzikri”.