REPUBLIKA.CO.ID, Zikir bersuara dan berkumpul untuk melakukannya bersama di suatu majelis atau masjid boleh dan ada dasarnya.
Syekh Abdul Haq ad-Dahlawi dalam kitabnya “Taushil al-Murid ila al-Murad, bi Bayan Ahkam al-Ahzab wal-Awrad: memaparkan argumentasi diperbolehkannya zikir berjamaah secara mendetail dan lengkap.
Dalam kitab berbahasa Persia yang telah dialihbahasakan ke bahasa Arab itu, ia berkesimpulan bahwa zikir bersuara dan berkumpul untuk melakukannya bersama di suatu majelis atau masjid boleh dan ada dasarnya.
Syekh Abdul Fattah Abu Ghaddah mengatakan sejumlah ulama memang melarang zikir dengan suara keras, baik yang dilaksanakan secara individual atau kolektif. Namun, menurutnya, pendapat yang benar justru menyatakan sebaliknya.
Zikir berjamaah dengan bersuara diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini seperti dijelaskan Imam al-Aknawi al-Hindi. Syarat yang dimaksud, misalnya tidak boleh berlebihan dan menimbulkan kebisingan serta hendaknya tidak memicu aksi pamer (riya).
Selain itu, Syekh Abu Ghaddah menambahkan dugaan bahwa Ibnu Taimiyah melarang zikir berjamaah tak sepenuhnya benar. Dalam “Majmu’ al-Fatawa”, Ibnu Taimiyah membantah seseorang yang menolak zikir berjamaah dengan rentetan ritual, seperti pembacaan Alquran, shalawat atas Nabi, tahlil, tasbih, dan tahmid, atau takbir.
Menurut Ibnu dia, aktivitas berzikir dan mendengarkan lantunan ayat suci Alquran dengan berjamaah merupakan kegiatan positif. Ini termasuk amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan bentuk ibadah yang paling utama.
Hanya saja, ia menggarisbawahi agar ini tidak dilakukan rutin tiap waktu. Sebab, untuk menghindari persepsi dan asumsi sebagian orang bahwa kegiatan tersebut adalah sunah yang dianjurkan.