REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi menegaskan khitan perempuan tidak memiliki manfaat secara medis. Namun, jika ada beberapa pihak yang memaksa, maka petugas medis disarankan melakukan permintaan tersebut.
"Secara medis tidak ada gunanya (khitan perempuan). Itu adalah masalah kebiasaan atau adat. Kalaupun dilakukan sunat, sebaiknya dilakukan oleh petugas kesehatan untuk mencegah infeksi," kata Menkes di Jakarta, Senin (21/1).
Pernyataan tersebut dikeluarkan Menkes menjawab kontroversi terkait praktek khitan perempuan. Namun, pernyataan itu bertentangan dengan fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam fatwa yang dikeluarkan MUI pada 2008, khitan perempuan adalah fitrah dan syiar Islam.
Fatwa tentang Sunat Perempuan Nomor 9A Tahun 2008 itu berbunyi, "Khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Dan khitan terhadap perempuan adalah makrumah (ibadah yang dianjurkan)."
Meski menilai khitan perempuan secara medis tidak bermanfaat, Menkes tidak melarang jika ada pihak yang ingin melakukan khitan bagi perempuan. Namun ia mengajukan syarat tertentu dan dilakukan tenaga kesehatan terlatih.
"Saya kira (kontroversi) ini sudah selesai dengan adanya peraturan Menteri Kesehatan yang lalu. Tapi ternyata tidak, jadi akan kita tingkatkan lagi sosialisasi kedepannya," ujar Nafsiah.
Sebelumnya, Menkes telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 yang menyatakan khitan perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris.
Permenkes itu juga menyatakan khitan perempuan seharusnya hanya dapat dilakukan tenaga kesehatan tertentu. Dan setiap pelaksanaan khitan perempuan hanya dapat dilakukan atas permintaan dan persetujuan perempuan yang dikhitan, orang tua dan atau walinya.