Kamis 24 Jan 2013 07:42 WIB

Pro Kontra Sikapi Khitan Perempuan

Bayi lahir pada tanggal 12-12-2012
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Bayi lahir pada tanggal 12-12-2012

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Ani Nursalikah

Sejak Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat edaran pelarangan, kini sebagian besar bayi perempuan di Indonesia tak dikhitan

Sidang Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pekan lalu telah sepakat mengeluarkan resolusi pelarangan khitan bagi perempuan. Ritual yang setiap tahunnya masih dijalani oleh puluhan juta perempuan di berbagai negara Islam itu dinilai membahayakan kesehatan reproduksi dan psikologi perempuan. Majelis Umum PBB bahkan meminta 193 negara anggotanya mengeluarkan kecaman dan larangan terhadap khitan perempuan.

Sejak 2006, Kementerian Kesehatan RI telah melarang petugas kesehatan melakukan khitan terhadap perempuan. Peraturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI Nomor tertanggal 20 April 2006 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan. Karena itulah hampir sebagian besar bayi perempuan di Indonesia kini tak lagi dikhitan.

Menurut surat edaran itu, sunat perempuan tidak bermanfaat bagi kesehatan dan justru merugikan dan menyakitkan. Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menganggap khitan bagi perempuan tak masalah, bahkan dalam fatwa bernomor 9A pada 2008 menyatakan khitan bagi laki-laki dan perempuan adalah baik dan termasuk syiar Islam.

Rika Rosvianti dari Kerohanian Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia menyebutkan sunat perempuan sudah menjadi budaya dan banyak terjadi sejak zaman Rasulullah. Menurut dia, Rasul menyarankan dilakukan sunat pada perempuan dan tak boleh dilakukan secara berlebihan. ''Yang kuketahui, dari keterbatasan pengetahuan dan informasi yang kupunya, jawaban Rasul pun bernuansa pembatasan, bukan dorongan terhadap sunat perempuan,'' ujarnya kepada Digest Muda, Rabu (26/12).

Rika menambahkan, sejalan dengan sudut pandang medis, maksud dari tidak boleh berlebihan adalah jangan sampai memotong klitoris apalagi sampai memotong labia minora atau mayora seperti praktik khitan yang banyak terjadi di Afrika. Kalau sampai begitu, kata Rika, berarti sudah masuk kategori genital mutilation. Nah, ia menyebut bagian yang penting dalam aturan sunat perempuan adalah standar operasional dan prosedur (SOP) detail pelaksanaan yang boleh dan aman, yakni hanya memotong lapisan di atas klitoris. Jangan sampai mengenai klitoris.

Tantangan lain yang muncul adalah praktik sunat itu biasanya dilakukan saat anak masih bayi yang memungkinkan klitoris terpotong karena ukurannya sangat kecil. Hal ini jelas memperbesar peluang terpotongnya klitoris.

''Menurutku sih, yang paling penting adalah fokus ke pembuatan detail SOP dan memberi penyuluhan ke orang di lapangan untuk memastikan praktiknya memenuhi standar kesehatan dan keselamatan. Sama seperti di negara-negara Arab, praktik penyunatan kepada perempuan akan tetap banyak dilakukan, terutama bagi penganut Islam yang cukup saklek dengan ajaran apa pun yang dilakukan di zaman Rasul,'' kata Rika yang tidak akan melakukan khitan jika kelak memiliki anak perempuan karena sangat besar peluang terjadi kesalahan pemotongan klitoris.

Lain Rika, lain pula pendapat Nur Asiyah. Mahasiswi Universitas Al Azhar angkatan 2010 ini mengatakan dalam keluarganya tidak ada keharusan untuk melakukan khitan pada perempuan. Namun, ia sendiri mengaku saat masih bayi pernah dikhitan. ''Waktu itu dibawa orang tua ke dukun beranak. Katanya cuma kayak disilet, cuma sebagai syarat aja,'' ujar mahasiswi jurusan Teknik Informatika ini yang juga aktif dalam Keluarga Rohani Islam Mahasiswa Al Azhar (Kharisma).

Sedangkan, secara syar'i ia mengaku belum mengetahui mengenai hukum melakukan khitan pada perempuan. Khitan pada perempuan, kalau menurut Nurul Latifah Fahmi, jelas merupakan ajaran Islam. Mahasiswi Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI angkatan 2009 ini mengutip sebuah hadis dari Abu Hurairah yang dirangkum Bukhari. Isinya, Rasulullah pernah bersabda bahwa fitrah manusia itu ada lima, yaitu khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan mencukur kumis.

Nurul berpendapat lima hal tersebut juga termasuk sunah atau kebiasaan. Allah sebagai Sang Khalik Mahatahu apa yang terbaik untuk makhluk-Nya. Pasti ada kebermanfaatan ketika menunaikan sunahnya. Ia mengaku setuju dengan praktik ini sebab sudah menjadi fitrah bagi laki-laki dan perempuan untuk dikhitan. Khitan mempunyai makna memotong kulub (kulit yang berlebih). Ia pernah menanyakan kepada orang tuanya perihal permasalahan ini. Ibunya menjawab hampir semua bayi perempuan di kampung halamannya di Garut, Jawa Barat, dikhitan. ''Sampai sekarang kami sudah dewasa merasa baik-baik saja dan sehat-sehat saja,'' ujar kata anggota Nuansa Islam Mahasiswa Universitas Indonesia.

Hikmah dikhitan itu sendiri, katanya, untuk menghindari penyakit kelamin dan kanker kelamin. Pada perempuan khitannya memang tidak terlihat karena hanya disayat sebesar bagian beras paling kecil saat ditumbuk. Sampai sekarang, praktik khitan pada bayi perempuan masih berjalan di pelosok. Biasanya, bayi dikhitan satu pekan setelah kelahiran sekaligus ditindik untuk membuat lubang di telinga sang bayi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement