Selasa 29 Jan 2013 15:03 WIB

DNA Bukti Hubungan Nasab, Benarkah?

Mitokondria DNA (ilustrasi)
Foto: mitochondrialdnatesting.com
Mitokondria DNA (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah

Sejak dibuktikan pertama kali oleh Oswald Avery pada 1944, bah wa DNA bisa dijadi kan sebagai penguat akurasi keterkaitan hubungan nasab, DNA dijadikan alat bukti kuat bagi beberapa kasus seperti kriminalitas dan bantahan atau pengukuhan atas klaim nasab seseorang.

Tes DNA yang pernah dilakukan terhadap mantan presiden AS, Tho mas Jefferson, misalnya, sempat meng gemparkan. Kajian itu me nyimpulkan bahwa salah satu pen diri Negara Paman Sam terbukti memiliki anak dari perempuan ber kulit hitam. Meskipun temuan itu mendapat penolakan dari para ahli dari kulit putih.

Di Rusia, metode yang sama juga digunakan untuk mengidentifikasi sejumlah mayat yang diduga adalah keluarga Kaisar Nicholas II. Keberadaan mereka tak dapat dilacak, pascahukuman mati yang berlangsung pada 1918. Setelah memban dingkan dengan DNA keluarga yang masih hidup, dinyatakan bahwa mayat-mayat itu adalah keluarga Sang Kaisar.

Dalam Islam, hubungan nasab pada dasarnya diketahui, antara lain, dengan adanya hubungan per nikahan yang sah. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah yang me nyatakan bahwa anak adalah hasil hubungan suami-istri yang sah (alwalidu li al firasy). Pengukuhan na sab juga bisa ditempuh dengan per saksian (bayyinah) oleh dua orang laki-laki yang memenuhi syarat. Cara selanjutnya berupa pengakuan bapak biologis di hadapan pengadil an (iqrar).

Kemunculan DNA menciptakan diskusi menarik di kalangan ahli fikih. Terlebih, isu DNA belum pernah muncul dalam kajian fikih kla sik. Konsensus ulama pun terkait masalah ini belum pernah ada. Sedangkan perselisihan soal terkait atau tidaknya nasab itu sendiri pada dasarnya bisa dipicu oleh faktor sepele. Perbedaan kulit, misalnya. Konon, permasalahan tersebut pernah terjadi di antara Usamah dan Zaid bin Haritsah. Hubungan nasab antarkeduanya sempat dipersoal kan. Pasalnya, kulit Usamah ber warna hitam. Sedangkan sang ayah, Zaid, berkulit putih.

Pendapat ulama

Pertemuan ke-16 Komite Fikih Islam yang digelar di Mekkah pada 2002 dan dihadiri oleh ulama dan pakar di bidang kedokteran, menghasilkan beberapa rekomendasi ter kait penggunaan DNA untuk me mas tikan nasab, antara lain, yaitu DNA digunakan dengan penuh kehati- hatian dan prosedur yang ketat. Kaidah penetapan nasab yang telah diakui syariat, harus lebih dikedepankan.

Selain itu, DNA tidak boleh di pergunakan untuk menafikan nasab yang telah dipastikan kebenarannya secara syariat. Penggunaan DNA diperbolehkan dalam kondisi-kondisi tertentu, misalnya, tidak teridentifikasinya nasab karena be be- rapa faktor, seperti ketiadaan bukti fisik ataupun bukti tertulis. Menurut komite ini pula, DNA sah dipakai untuk mengidentifikasi bayibayi yang tertukar ketika berada di rumah sakit.

Menurut Syekh Yusuf al-Qara dhawi, DNA tak bisa dijadikan bukti pengukuhan nasab dari hasil per buatan zina. Meskipun syariat me ne kankan pentingnya pengu kuh an nasab, tetapi khusus dalam kasus zina, hal itu harus ditutupi. Menutupi aib dari zina penting dilakukan agar tatanan sosial masyarakat Mus lim tetap terjaga dan tindakan keji tersebut tidak menjalar dan menjadi hal biasa di tengah-tengah mereka.

Rasulullah SAW pernah mengomentari sikap sahabat yang menolak pengakuan berzina dari Ma’iz bin Malik. “Tidakkah engkau tutupi dengan ujung pakaianmu,” sabda Rasulullah. Tetapi, dalam kasus tertentu DNA bisa digunakan seperti sebagai bukti atas tuduhan berzina yang ditujukan seseorang. Dalam pandangan Mufti Dar al- Ifta, Mesir, Syeh Ali Jum’ah, sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam kajian fikih Islam, nasab seorang anak apa pun kondisinya, akan te tap kembali ke ibu. Hal ini sesuai de ngan ayat: “Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang mela hir k an mereka.” (QS al-Mujaadilah [58] : 2).

Pengukuhan nasab anak ke ayah nya hanya melelui pernikahan yang sah. Namun, penggunaan DNA dianggap boleh saat kondisi tertentu. Misalnya, ketika seorang sua mi ingkar terhadap anak kan dungnya dari pernikahan sah. Sementara, di saat bersamaan tak ditemu kan bukti atau dokumen per ni- kahan. DNA dalam kasus seperti ini sah digunakan. Tes DNA juga boleh dipergunakan ketika terjadinya ka sus bayi tertukar.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement