REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) segera membahas revisi target produksi minyak siap jual (lifting) dengan Kementerian Keuangan. Sebelumnya, soal ini sudah diutarakan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta DPR, RI.
"DPR dan Kementerian ESDM sudah dengar," tegas Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini, Rabu (20/2). "Tinggal Kementerian Keuangan saja,".
Ia pun menuturkan revisi ini perlu. Pasalnya realisasi produksi minyak di tahun 2013, memang tak bisa mencapai target dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 900 ribu barel per hari (bph). "Lifting 830 ribu bph itu yang kita usulkan," ujarnya.
Angka lifting 830 ribu bph dnilai Rudi lebih logis jika melihat target pencapaian penurunan laju produksi minyak (decline rate) setiap tahunnya yang merosot tiga hingga lima persen. Bila pemerintah memaksa mematok lifting tinggi, ia menuturkan postur APBN bisa rusak. Sebab, kemampuan realisasi berbeda jelas dengan perhitungan yang sudah dibuat.
Lagipula, tambah Rudi, sudah saatnya target perhitungan lifting tidak dilebih-lebihkan. "Selama ini target selalu dilebihkan namun tak tercapai. Kalau kaya begini bikin capek," tegasnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, produksi minyak mengalami penurunan sejak empat tahun terakhir. Dari semula 948 ribu bph di 2009, produksi minyak mengalami penurunan di 2010 menjadi 945 ribu bph.
Ini terus terjadi hingga 2011, di mana produksi turun lagi hingga 901 ribu bph di 2011. Produksi terendah terjadi 2012 lalu sebesar 860 ribu bph.
Penurunan terjadi karena umur sumur yang mulai uzur. Selain itu minimnya pengeboran eksplorasi menjadi penyebab.
Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics anf Finance (Indef) Aviliani memandang penurunan target lifting bisa memperburuk defisit APBN. "Sekarang saja sudah defisit, defisit bisa makin tinggi," katanya pada ROL.
Menurutnya, penurunan target lifting bisa mengurangi pendapatan negara dari sektor migas. Karena penjualan hasil produksi minyak rendah, otomatis penerimaan negara berkurang.