REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usulan beberapa fraksi mengenai syarat minimal pendidikan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) dalam pembahasan RUU Pilpres dinilai Partai Golkar terlalu formalistik. Diusulkan pendidikan capres dan cawapres setidaknya lulusan S1.
"Kualifikasi pendidikan minimal S1 itu terlalu formalistik dan diskriminatif," kata Ketua DPP Golkar, Hajriyanto Tohari, di Jakarta, Senin (8/4).
Usulan itu dinilai terlalu formalistik, karena tidak semua orang yang berpotensi dalam bidang kepemimpinan itu menempuh jenjang pendidikan formal. Misalnya, mereka yang berlatar belakang militer.
Menurut Hajriyanto, banyak jenderal yang tidak mengenyam pendidikan S1 karena mereka masuk Akademi Militer atau AKABRI setelah lulus SMA.
"Apa lantas kemudian para jenderal itu tidak boleh jadi capres hanya karena tidak lulus S1," ungkap Wakil Ketua MPR itu.
Hajriyanto menilai syarat pendidikan minimal S1 itu tidak relevan untuk jabatan-jabatan politik. Termasuk jabatan presiden dan wakil presiden. Sebab, pendidikan minimal SMA seperti dalam UU Pilpres 2008 menurutnya sudah cukup.
"Di Amerika juga tidak ada syarat pendidikan formal seperti itu. Ini negara, bukan universitas," ujar Hajriyanto.
Sebelumnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengusulkan syarat pendidikan calon presiden dan wakil presiden dalam pembahasan RUU Pilpres di Badan Legislasi diubah. Syarat pendidikan menjadi S1, bukan lagi SMA/sederajat seperti dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.
"Sebaiknya capres dan calon cawapres minimal sarjana (S1)," kata anggota Baleg dari Fraksi PKS, Indra.