REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disodorkan pemerintah dinilai terlalu banyak aturan.
''Terlalu banyak aturan,'' kata Pakar Hukum Tata Negara, Irmaputra Sidin, di Jakarta, Jumat (12/4).
Irmaputra mengatakan dalam tipe negara modern, hukum pidana hanya untuk kejahatan-kejahatan serius. Hukum pidana yang berlaku saat ini merupakan warisan rezim Eropa abad ke-17.
Saat itu berkembang ideologi negara adalah segalanya. Jika warganya tidak sesuai dengan keinginan negara maka dicabutlah hak kebebasan warganya.
''Bahkan kalau perlu hak hidupnya juga diambil. Misalnya mengkritik raja atau ratu, dianggap sebagai pidana dan pelaku harus mendekam di penjara,'' ujar Irmaputra.
Namun, ia mengungkapkan seiring berkembangnya teori bernegara, maka negara mempunyai tanggung jawab lebih besar dalam menyejahterakan rakyatnya. Negara diberi fungsi pendidikan, pembangunan ekonomi, regulasi hingga keamanan.
Menurut Irmaputra, jika masyarakat mengkritisi pemerintahan atau presiden, sebaiknya jangan diberlakukan hukum pidana karena itu merupakan bagian dari sebuah negara yang menjujung demokrasi. Pasal penghinaan terhadap pemerintah atau presiden jelas sudah mengekang kebebasan berdemokrasi.
Sebaiknya ditindak lewat cara lain, Irmaputra mencontohkan misalnya dengan cara membina masyarakat akan kesadaran menyampaikan aspirasi yang santun, beretika dan bermoral.
''Menjadi bahaya jika banyak pasal yang tertuang dalam KUHP membuat pemerintah cenderung otoriter dan tidak peduli dengan rakyatnya sendiri. Salah sedikit, langsung dihukum," kata Irmaputra.