REPUBLIKA.CO.ID, YANGON---Peraih Nobel Perdamaian 1991 ini kalut. Sepekan terakhir, dirinya memobilisasi para petinggi muslim di negara bekas junta itu untuk mencari penyelesaian. Media Irrawaddy mengatakan, kesepahaman antara dirinya dan para imam muslim di Myanmar terjadi saat Senin (8/4) lalu.
Dikatakan, Suu Kyi akan mendesak parlemen untuk membahas persoalan kewajiban negara melindungi kelompok Islam. Kata dia, negara harus adil memberikan hak-hak bagi semua kelompok. ''Saya ingin negara ini menjadi pelindung bagi semua masyarakat dan kelompok,'' ujar dia.
Desakan Ketua Komite Hukum Majelis Rendah (DPR) Myanmar ini adalah terkeras terkait sentimen keberagamaan di Myanmar. Selama ini Suu Kyi cenderung tutup mulut melihat berbagai tindakan tidak manusiawi yang dilakukan pemerintah ataupun kalangan agamawan Buddha terhadap Muslim Rohingya.
Sensus 1990-an Myanmar mencatat tidak kurang dari 800 ribu Muslim Rohingya di negara itu. Pemerintahan meyakini populasi mereka semakin membengkak. Hal ini memicu kecemasan dan lantaran pemerintah menganggap Muslim Rohingya bukanlah penduduk Myanmar.
Alasan tersebut membuat Pemerintahan di Yangon, tidak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara. Presiden U Thein Sein bahkan mengancam akan mengusir keberadaan kelompok yang di akui PBB sebagai etnis paling tertindas di dunia.Sedangkan bagi Buddha, membengkaknya populasi Muslim Rohingya dianggap ancaman bagi pemeluk Buddha. Baru-baru ini, pengakuan seorang pemimpin Biksu Myanmar mengatakan, akan melakukan segala cara untuk membasmi Muslim Rohingya dari negara itu.