REPUBLIKA.CO.ID,BANDARLAMPUNG--Pakar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung Prof Dr Bustanul Airifin mengatakan, komoditi kedelai dan gula masih sulit diintervensi secara politis oleh pemerintah.
"Dari lima target politik yang akan diintervensi itu yakni beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula, saya khawatir dua diantaranya tidak tercapai pada 2014," kata Bustanul disela-sela Rakorwil Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) 2013 di Makassar, Senin.
Menurut dia, untuk komoditi kedelai rata-rata produksi nasional hanya 850 ribu ton per tahun, sementara konsumsi antara dua hingga 2,5 juta ton, sementara produksi gula tercatat 2,3 juta ton dan konsumsi mencapai 4,5 juta ton.
Kondisi itu semakin diperkeruh dengan adanya gula rafinasi yang juga turut beredar di pasaran. Mencermati fenomena tersebut, katanya, maka dinilai untuk menekan impor dua komoditi itu masih sangat sulit.
"Dalam hal ini, konteksnya adalah ketersediaan barang, jika ingin mengendalikan harga. Namun apabila produksi rendah, tentu hukum pasar akan berlaku, barang kurang harga akan naik. Apabila konsumen kita tidak siap atau daya belinya rendah, tentu akan memicu inflasi," katanya.
Sementara mengenai kondisi di Wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua (Sulampua), dia mengatakan, sebenarnya dari segi potensi sumber daya alam cukup memadai.
Namun masih ada tantangan untuk mengolahnya agar menjadi prioritas bahan pangan lokal.
Dengan demikian, lanjut dia, produksi pangan Sulampua harus naik kelas dengan cara melakukan pengolahan, sehingga memiliki nilai tambah.
Sebagai gambaran, dia menyebut, singkong yang selama ini hanya dikonsumsi dengan cara merebus atau digoreng, selanjutnya dapat dijadikan tepung singkong.
"Tepung singkong yang dibentuk seperti beras yang kemudian diistilahkan 'rasi'(beras singkong), itu dapat dikonsumsi sebagai pengganti beras. Hal-hal seperti itulah yang perlu dikembangkan untuk menekan masuknya komoditi impor di daerah," katanya.