REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelangkaan solar dinilai membuktikan mekanisme penyaluran bahan bakar pemerintah buruk. "Pemerintah telah melakukan pengendalian tanpa memperhatikan kebutuhan dan sosialisasi yang intensif kepada masyarakat," tegas anggota Komisi VII DPR Rofi Munawar, Kamis (25/4).
Karena itu, ia meminta pemerintah segera menginventarisir kelemahan distribusi ini. Menurutnya pemerintah wajib sebagai eksekutif pemerintah wajib memberi solusi agar kelangkaan tak semakin melebar.
"Kalau memang terjadi penyimpangan maka harus segera ditindak dan diberikan sanksi yang tegas pelakunya," jelasnya. Pasalnya, kelangkaan ini tak hanya menghambat aktifitas mobilitas masyarakat semata. Akan tetapi, lebih spesifik lagi seperti sulitnya logistik disalurkan karena tak ada bahan bakar.
Apalagi, dalam waktu dekat, pemerintah segera mengumumkan kebijakan dua harga BBM bersubsidi, di mana harga BBM untuk mobil pribadi naik di kisaran Rp 6.500 hingga Rp 7 ribu per liter. "Pemerintah jangan selalau tak antisipatif dan senantisa bertindak reaktif dalam melakukan pengendalian saat wacana kenaikan BBM digulirkan," ujarnya.
Sebelumnya, kelangkaan solar terus terjadi di beberapa wilayah seperti Surabaya-Bali. Kelangkaan juga terjadi di Sumatra Utara di di mana pengusaha kecil dan menengah kesulitan mendapat solar subsidi.
Di Jawa Timur misalnya, Rofi menilai kelangkaan terjadi karena Pertamina Region V Jatim mengurangi pasokan solar bersubsidi sebesar lima persen. Sesuai penugasan pemerintah, kuota solar bersubsidi yang menjadi tanggung jawab Pertamina tahun ini lebih rendah 8,3 persen dibandingkan dengan realisasi penyaluran tahun lalu.
Secara nasional, kuota solar bersubsidi tahun 2012 sebesar 15,56 juta kilo liter, turun menjadi 14,28 juta kl. Di wilayah Jatim, hingga saat ini jumlah SPBU yang dapat melayani pembelian BBM nonsubsidi sebanyak 669 unit untuk Pertamax/Plus dan 81 di antaranya juga menyediakan Pertamina DEX melalui pompa dispenser.