REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Buruh perempuan yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jatim mengusulkan 8 Mei sebagai Hari Marsinah untuk mengenang semangat dan perjuangan kaum pekerja dalam menegakkan hak-hak normatifnya serta simbol penghargaan atas perjuangan almarhumah.
Usulan itu diwacanakan ratusan buruh perempuan yang menggelar aksi simpatik di Kawasan Rungkut Industri III Surabaya, Rabu untuk memperingati 20 tahun kematian aktivis buruh Marsinah.
Dalam aksi di samping PT Catur Putra Surya (CPS) yang merupakan pabrik arloji tempat awal Marsinah bekerja itu, para buruh perempuan membawa karangan bunga, melakukan tabur bunga, dan membagikan bunga sebagai simbol penghargaan terhadap perjuangan Marsinah.
"Dalam momen peringatan 20 tahun Marsinah pada 8 Mei 2013, kami menuntut 8 Mei dijadikan Hari Marsinah, kasus Marsinah dibuka kembali dan pembunuhnya diadili, serta segala bentuk perbudakan terhadap buruh diakhiri," kata koordinator Aliansi Buruh Jatim (ABJ) Jamaludin.
Di sela-sela aksi itu, pihaknya juga mendesak pemerintah untuk mewujudkan perlindungan terhadap buruh perempuan, akhiri keberpihakan dan keterlibatan TNI dan polisi dalam kasus perburuhan.
"20 tahun berlalu, Marsinah belum mendapatkan keadilan secara hukum, namun nasib buruh di Indonesia pun masih belum membaik, bahkan pelanggaran hak-hak buruh masih terjadi secara massif, seperti sistem perbudakan terhadap buruh di Tangerang maupun sistem outsourcing serta kontrak yang merajalela," katanya.
Aliansi Buruh Jatim mencatat 8 Mei 1993, jenazah aktivis perburuhan Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk, dengan kondisi mengenaskan, karena sekujur tubuhnya penuh luka memar bekas pukulan benda keras.
Marsinah yang kelahiran Nganjuk pada 10 April 1969 itu ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari akibat penculikan.
"Semua itu terjadi karena Marsinah turut memperjuangkan nasib buruh di PT CPS, bahkan dia juga terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada 2 Mei 1993 di Tanggulangin, Sidoarjo," katanya.
Pada 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja untuk berunjuk rasa, sehingga Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan untuk mencegah aksi buruh.
Tanggal 4 Mei 1993, para buruh melakukan aksi mogok total, mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp1.700 per hari menjadi Rp2.250 per hari, serta tunjangan tetap Rp550 per hari.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Pasca aksi mogok 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil Kodim Sidoarjo dan ke-13 perwakilan buruh itu dipaksa untuk menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi.
Dua hari kemudian menyusul delapan buruh lainnya di-PHK di tempat yang sama, sehingga Marsinah pun memprotes hal tersebut dan ia selanjutnya menghilang hingga akhirnya ditemukan meninggal.
Kasus ini selanjutnya menjadi sorotan luas sehingga sempat dilakukan proses hukum, namun Mahkamah Agung membebaskan semua terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni).
Kasus ini menjadi kasus di ILO (Organisasi Buruh Internasional) yang dikenal sebagai kasus 1713. Hingga sekarang belum diketahui siapa pembunuh Marsinah, namun wartawan menemukan bukti forensik terkait kematian Marsinah di ruang Pasintel Kodim Sidoarjo.
sumber : Antara