REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masalah pendirian kantor perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Inggris dinilai kompleks untuk dituntaskan.
“Konstitusi di sana memang menjamin kebebasan berekspresi, sehingga sulit untuk meminta Pemerintah Inggris membubarkan kantor tersebut,” kata pakar Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, saat dihubungi ROL, Ahad (12/5).
Menurut Hikmahanto, tidak hanya OPM yang membangun perwakilan di Inggris. Ada berbagai kelompok separatisme dari negara lain juga mendirikan basis organisasinya di negara itu. Salah satunya adalah Gerakan Tibet Merdeka yang dibentuk untuk melepaskan negeri Tibet dari Republik Rakyat Cina. Karenanya, tidak hanya Indonesia yang mengalami kasus semacam ini.Ia berpendapat, sepanjang pendirian kantor perwakilan OPM tidak didukung secara resmi oleh Pemerintah Inggris, maka hal itu tidak perlu dipermasalahkan.
Namun, sambung Hikmahanto, akan lain persoalannya jika nanti Pemerintah Inggris berubah sikap, yakni menyatakan dukungannya terhadap organisasi tersebut. “Kalau mereka berubah pandangan, itu baru perlu disikapi secara tegas oleh Pemerintah RI,” tuturnya.
Terkait kehadiran wali kota dan anggota dewan kota Oxford dalam peresmian kantor OPM, Hikmahanto menilai itu bukan atas nama institusi pemerintahan, melainkan atas nama pribadi saja. Yang terpenting, tambahnya, Pemerintah Inggris secara resmi telah menyatakan Papua adalah bagian dari NKRI.
Menurutnya, OPM yang dibidani Benny Wenda tersebut memang menginginkan terjadinya keributan di Indonesia. Pendirian kantor OPM di Oxford adalah bagian dari siasat Benny mengalihkan cara-cara kekerasan dalam gerakannya ke arah soft power atau diplomasi. “Jadi persoalan ini sebaiknya tidak usah dibesar-besarkan,” saran Hikmahanto.