Kamis 30 May 2013 18:08 WIB

Ahmad Yani: Gratifikasi Seks Sulit Dipidanakan

Gratifikasi Seks (ilustrasi)
Foto: ist
Gratifikasi Seks (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Ahmad Yani menilai gratifikasi seks tidak bisa dikategorikan dalam delik pidana karena sulit melakukan pembuktiannya.

"Saya berpandangan gratifikasi seks sulit dipidanakan," kata Ahmad Yani pada diskusi "Dialektika: Menakar Sanksi Gratifikasi Seks" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis.

Pembicara lainnya pada diskusi tersebut adalah praktisi hukum Farhat Abbas dan pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia Akhiar Salmi.

Menurut Ahmad Yani, ada banyak persoalan jika ingin memasukan gratifikasi seks sebagai bagian dari gratisikasi yang masuk dalam delik pidana, seperti halnya penerima gratifikasi jika mengembalikan barang yang diterimanya dalam waktu sebelum 30 hari, maka tidak bisa dipidanakan.

"Jika gratifikasi yang diberikan dalam bentuk seks, maka barang apa yang mesti dikembalikan oleh si penerima," katanya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menegaskan, wacana yang yang ingin menjadikan gratifikasi seks sebagai bagian dari tindak pidana sama saja dengan merendahkan martabat kaum perempuan.

Wacana yang menyebutkan bahwa gratifikasi seks sebagai bagian dari gratifikasi, menurtu dia, sama saja dengan menyamakan perempuan sebagai barang atau benda mati.

"Pandangan ini tidak menghargai kaum perempuan," katanya.

Ketika ditanya bagaimana dengan sejumlah nama perempuan yang disebut-sebut sebagai gratisikasi yang terkait dengan kasus yang dihadapi Achmad Fathanah, Yani menyatakan kaum perempuan itu tidak bisa dipersalahkan.

Apalagi, kata dia, beberapa nama perempuan yang disebut-sebut juga dituntut untuk mengembalikan uang yang diterimanya dari Fathanah ke negara.

"Achmad Fathanah bukan penyelenggara negara dan pejabat publik. Apa alasan perempuan yang menerima uang dari Fathanah harus dikembalikan ke negara?" ujarnya.

Sementara itu, Farhat Abbas menambahkan, perempuan yang diberikan oleh pihak tertentu sebagai gratfikasi seks bisa mendorong para penyelenggara negara melakukan tindakan korupsi.

Menurut dia, wajar saja jika KPK menyita uang diterima oleh perempuan yang "disodorkan" kepada penyelenggara negara jika ternyata uang tersebut berasal dari korupsi.

Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Akhiar Salmi mengatakan, aturan hukum di Indonesia ini sesungguhnya sudah lengkap, termasuk mengatur soal gratifikasi, tapi implementasinya belum optimal.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement