REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persoalan air bersih layak minum masih menjadi kebutuhan utama warga Jakarta. Indonesia Water Institute mencatat, baru 37 persen saja dari warga Jakarta yang sudah terlayani oleh PAM dan dua mitranya, Palyja dan Aetra.
Direktur Eksekutif Indonesia Water Institute, Firdaus Ali mengatakan, sulitnya bahan baku menjadi penyebab utama masih banyaknya warga Jakarta yang kekurangan air bersih. Selama ini, kata dia, pasokan air utama Jakarta masih bergantung pada Waduk Jatiluhur dan Tangerang.
Karenanya, dia mengapresiasi langkah PAM yang mulai melakukan pengolahan air limbah dari Waduk Pluit dan sungai untuk menjaga ketahanan air bersih di Jakarta.
Namun, lanjut Firdaus, upaya tersebut akan sia-sia jika kebiasaan masyarakat membuang sampah ke sungai tidak berubah.
"Kalau kita tidak bisa kendalikan masyakarat untuk tidak buang limbah ke sungai, lalu apa bedanya? Selama ini kan sungai di Jakarta tidak bisa dipakai karena airnya sudah tercemar," kata dia kepada Republika, Kamis (13/6).
Dia juga menilai, ada ketidakadilan tarif yang dibebankan pada warga. Saat ini, masyarakat miskin membayar tarif Rp 1.050 per meter kubik air.
Sementara warga yang mampu dibebankan tarif yang jauh lebih tinggi, yaitu Rp 12.550 per meter kubik. Di sini, terjadi subsidi silang dari si kaya pada si miskin.
Menurut Firdaus, seharusnya pemerintah yang memberikan subsidi untuk air, bukan malah dibebankan pada pelanggan.
Apalagi, air merupakan hak dasar warga negara yang ditegaskan dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi "Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk kemaslahatan rakyat."
"Ini ironis, yang melakukan subsidi untuk air justru rakyat. Padahal, BBM dan listrik saja disubsidi pemerintah," ungkapnya.