REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III dari PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari mengungkapkan, sebagai sebuah institusi penegak keamanan, Polri memang memiliki aturan tentang tata cara berpakaian.
Termasuk, pemakaian atribut-atribut lainnya seperti anting, giwang, hingga polesan wajah juga diatur."Termasuk jilbab biar urusan sendiri, enggak usah dilarang-larang," ungkap Eva.
SK pengaturan tentang seragam dinilai Eva tidak perlu dipersoalkan. Tetapi, dalam implementasinya harus disesuaikan. Selain khusus untuk daerah istimewa seperti Aceh, penerapan SK terkait pemakaian jilbab juga harus fleksibel."Harus fleksibel sesuai dengan HAM," ucapnya.
Anggota Komisi III dari Partai Hanura, Sarifuddin Sudding berpandangan sama dengan Pasek. Menurutnya, Komisi III belum mengetahui persis aturan Kapolri tentang larangan berjilbab bagi polwan tersebut.
"Apakah diatur dalam Undang-Undang, atau aturan internal. Lalu apakah aturannya untuk upacara resmi kepolisian atau dalam bertugas sehari-hari," ujar Sudding.
Karena, lanjut Sudding, institusi kepolisian tidak bisa disamakan dengan institusi sipil lainnya. Kepolisian memiliki tugas, pokok, dan fungsi yang berbeda. Sehingga, aturan berseragam juga mungkin disesuaikan dengan tugas harian yang dilaksanakan.
Namun, ketua Fraksi Hanura itu menilai secara umum pelanggaran pemakaian jilbab bersinggungan dengan hak asasi setiap manusia. Ada kebebasan yang melekat pada setiap manusia, termasuk dalam menggunakan pakaian sesuai ideologi dan kepercayaan yang dianutnya.
Selama bisa disesuaikan dengan aturan umum di lingkungan pekerjaannya, menurut Sudding, larangan berjilbab bagi polwan secara tidak langsung melanggar hak asasi tersebut.
"Tapi Kapolri tentu punya kajian sendiri mengapa mengeluarkan aturan itu. Masalahnya kami di Komisi III belum baca secara jelas isinya seperti apa, karenanya perlu dikonfirmasi," ungkapnya.