REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR Tjahjo Kumolo menyesalkan tindakan penyadapan yang dilakukan pemerintah Inggris terhadap para delegasi pertemuan G-20 di London pada April dan September 2009 lalu.
Penyadapan itu tidak lazim karena Inggris merupakan negara sahabat Indonesia. "Penyadapan mungkin lazim, tapi menjadi tak lazim bila dilakukan antara kedua negara bersahabat," kata Tjahjo ketika dihubungi Republika, Kamis (20/6).
Selama ini, lanjutnya, Indonesia memiliki hubungan yang baik dengan Inggris. Kedua negara bahkan kerap berkoordinasi soal informasi informasi intelijen. "Hubungan koordinasi jaringan intelejen kedua negara sudah terkoordinasi baik," ujarnya.
Pemerintah Indonesia pun diminta tidak menganggap remeh kejadian ini. Tjahjo meminta pemerintah untuk segera melayangkan surat ke Inggris guna mempertanyakan aksi penyadapan yang mereka lakukan. "Permintaan penjelasan saya kira dengan tertulis akan lebih baik agar terdomentasi," katanya.
Sekjen DPP PDI Perjuangan ini menyatakan klarifikasi lisan yang diberikan Kementrian Luar Negeri Indonesia hanya berguna untuk menghindari kesalahpahaman antar kedua negara. Namun bila ingin menunjukan keseriusan, pemerintah mesti menyertai permintaan klarifikasi tertulis. "Klarifikasi tertulis menunjukan pemerintah serius terkait masalah tersebut," ujarnya.
Sebelumnya, Rabu (19/6) Juru Bicara Kementrian Luar Negeri Indonesia, Michael Tene meminta penjelasan pemerintah Inggris terkait kegiatan mata-mata (spionase) yang dilakukan intelijen Inggris terhadap delegasi KTT G-20, termasuk Indonesia.
Informasi tentang spionase intelejen Inggris diungkap suratkabar Inggris, The Guardian. Dalam laporan (Senin, 18/6) The Guardian menulis pemerintah Inggris memerintahkan penyadapan terhadap setiap komunikasi internet dan panggilan telpon anggota delegasi G-20.