REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Irwan Kelana (wartawan Republika) dari Kairo Mesir
KAIRO – Situasi di Mesir masih belum menentu, pascadilengserkannya Presiden Muhammad Mursi oleh militer, Rabu (3/7) malam. Hingga Kamis (4/7) siang, suasana di lapangan Tahrir, pusat para demonstran anti-Mursi berangsur sepi. Namun di Rab’ah Al Adawiyah, tempat berkumpulnya para pendukung Mursi, masih terlihat padat oleh massa pendukung Mursi.
Bagi para mahasiswa Indonesia di Mesir, situasi ini pun dihadapi dengan harap-harap cemas. Mereka berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk atau chaos yang dapat menyebabkan para mahasiswa Indonesia dievakuasi ke Tanah Air, seperti kejadian tahun 2011 saat Presiden Mesir Husni Mubarak dilengserkan oleh rakyat. “Walaupun hal tersebut berarti kami bisa bertemu dengan keluarga di Tanah Air, tapi terbayang pendidikan kami akan terbengkalai. Karena itu kami berharap tidak sampai terjadi evakuasi,” kata Agus Susanto, mahasiswa Universitas Al-Azhar asal Bengkulu, saat berbincang di Wisma Jakarta di Hay Tasi’ (Distrik Sembilan), Nashr City, Kairo, Kamis (4/7).
Hal yang sama diungkapkan Ahwaji, mahasiswa Universitas Al-Azhar asal Padang, Sumatera Barat. “Saya berharap jangan sampai evakuasi seperti tahun lalu. Sebab, walaupun dibiayai negara dan kembali ke Mesir nantinya dibiayai negara, belum tentu bisa kembali ke Mesir tepat waktu. Tahun lalu, ada teman saya yan telat datang kembali ke Mesir, akibatnya dia terlambat mengikuti ujian, dan harus menunggu setahun lagi,” kata Ahwaji.
Maryam, pelajar Al-Azhar Kairo asal Jakarta mengatakan, kalau sampai terjadi evakuasi, merupakan dilema. “Dari pengalaman sebelumnya, ada kesulitan prosedur kembali ke Mesir, terutama menyangkut visa, sehingga saya sempat tertahan sekitar enam bulan di Tanah Air,” ujar Maryam.
Sebetulnya, kata Maryam, sekarang ini musim libur panjang sampai sekitar Oktober 2013. Artinya kalau ada evakuasi, masih cukup waktu untuk kembali ke Mesir. “Tapi kalau sampai terjadi pendukung Mursi angkat senjata, sehingga keadaan sangat gawat, lebih baik dievakuasi,” ujarnya.
Rahmah Rasyidah, mahasiswi Universitas Al-Azhar asal Samarinda, Kaltim, mengatakan, “Selama gejolak di Mesir tidak terlalu parah dan tidak terlalu merugikan warga asing – misalnya tahun 2011 listrik diputus, telepon mati, internet mati, banyak pereman berkeliaran dan Cairo mirip kota mati – mungkin tidak perlu evakuasi. Sebab evakuasi itu ribet,” ujarnya.
Ia menjelaskan, banyak mahasiswa waktu evakuasi tahun 2011, yang visanya sudah habis, ketika mengurus visa tersebut kembali di Indonesia, tidak mudah. Sementara mereka sudah harus kembali ke Al-Azhar. “Ada cerita seorang kawan yang baru tiga minggu tiba di Tanah Air, dipanggil pemerintah Indonesia untukkembali ke Mesir,” tuturnya.
Walaupun demikian, kata Rahmah, tidak semua mahasiswa menolak evakuasi di saat ini. “Siapa sih yang menolak liburan gratis, apalagi Ramadhan, dan berpuasa di Tanah Air bersama keluarga. Sekarang musim liburan,” kata Rahmah.
Para mahasiswa itu berharap kondisi Mesir kembali stabil dan perekonomian kuat. “Kalau kondisi Mesir tidak stabil, akan berdampak terhadap besarnya biaya hidup kami di Mesir,” kata Agus Susanto.
Sementara itu, kata Maryam, evakuasi tahun 2011 lalu menyisakan cerita tersendiri bagi sejumlah pelajar dan mahasiswa Indonesia. “Evakuasi 2011 menjadi berkah tersendiri. Banyak di antara mereka, begitu tiba di Tanah Air, menikah. Sedangkan kalau menikah di Mesir harus mendatangkan orang tua atau wali, minimal mengurus surat keterangan wali hakim. Yang jelas, menikah di hadapan orang tua pasti lebih syahdu,” papar Maryam yang juga menikah sepulang evakuasi dan sekarang sudah punya seorang putri mungil berumur 1,5 tahun.