REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyeragamkan jumlah dan model alat kampanye bagi seluruh caleg dinilai cukup progresif. Tetapi di sisi lain, gagasan tersebut disebut bertentangan dengan politik proporsional terbuka yang dijalankan pada pemilu 2014.
"Apakah fairness itu ada dalam sistem pemilihan suara terbanyak? Apa pun akan dilakukan oleh caleg karena semua orang ingin menang, dan semua bebas bersaing dalam sistem proporsional terbuka saat ini," kata anggota Komisi II dari Fraksi PDI Perjuangan, Rahadi Zakaria, Selasa (23/7).
Semangat yang coba dibangun KPU, diakui Rahadi, memang baik. Karena dengan pembatasan kuota alat peraga yang digunakan semua caleg akan memiliki kesempatan yang sama. Tidak bergantung pada modal yang dimiliki masing-masing caleg. Namun, gagasan yang bagus tersebut menurutnya akan sulit direalisasikan di lapangan.
Karena, bagi caleg saat ini, seberapa banyak pun aturan yang dikeluarkan penyelenggara pemilu, kemenangan tetap menjadi prioritas utama. Bila aturan KPU tidak diserta dengan pengontrolan yang kuat, gagasan KPU itu akan sia-sia belaka.
"Kalau mau jujur Bawaslu dan panwaslu di daerah itu sangat terbatas. Bagaimana mengontrol dan menertibkan alat peraga yang dinilai melanggar, akhirnya aturan itu tidak efektif juga," ungkap Rahadi.
KPU berencana akan membatasi jumlah alat peraga yang digunakan calon anggota legislatif dalam melakukan kampanye. Pembatasan dimaksudkan untuk menciptakan asas pemilu yang berkeadilan. "Kami ingin mengedepankan asas fairness tanpa mengurangi pentingnya sosialisasi," kata Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay.
Dengan pembatasan jumlat alat peraga dan atribut yang digunakan, semua caleg bisa menggunakan kesempatan dan modal yang sama untuk berkampanye. Caleg yang memiliki pendanaan lebih besar, tetap dibatasi oleh jumlah atribut yang digunakan.