REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebagai bagian dari kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) memiliki masalah dari sisi obyektif dan timing.
Dari sisi obyektif, Managing Director Paramadina Public Policy Institute Wijayanto mengatakan kekhawatiran yang timbul tak lepas dari peluncuran BLSM satu tahun menjelang pemilihan umum 2014.
"Apa pun pernyataan pejabat di 2013 ini akan selalu dikorelasikan dengan 2014," ujar Wijayanto dalam diskusi publik 'BLSM, Akar Permasalahan dan Solusi Perbaikan', di Jakarta, Selasa (30/7).
Wijanto kemudian mencoba mengaitkan program BLSM dengan program Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah pimpinan Joko Widodo. Apabila KJP dikeluarkan satu tahun menjelang pemilihan gubernur, maka respon publik terhadap KJP akan masif, sebagaimana BLSM.
Kemudian dari sisi timing, Wijayanto menyebut tidak ada figur sentral untuk mengomunikasikan program BLSM kepada masyarakat. Ini berbeda dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) pascakenaikan harga BBM pada 2005 dan 2008 lalu.
"Waktu itu ada Pak JK (Jusuf Kalla, mantan wakil presiden) yang bisa jelaskan ke media. Faktor singer penting," kata Wijayanto.
Lebih lanjut, Wijayanto menilai ke depannya sistem penyaluran BLSM harus diperbaiki. Selain itu, komunikasi melalui para pejabat daerah dapat menetralisir dugaan BLSM untuk menarik simpati jelang pemilu 2014.