Selasa 22 Oct 2013 21:58 WIB

Keberadaan Dewan Pengupahan Dinilai Tidak Obyektif

Rep: Fenny Melisa / Red: Djibril Muhammad
  Dalam aksinya, para buruh menuntut penghapusan upah murah, menghapuskan tenaga alih daya (outsourcing) dan jaminan kesehatan buruh.
Dalam aksinya, para buruh menuntut penghapusan upah murah, menghapuskan tenaga alih daya (outsourcing) dan jaminan kesehatan buruh.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presidium Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) Timboel Siregar mengatakan keberadaan Dewan Pengupahan Daerah maupun Pusat diperlukan untuk membahas masalah pengupahan di Indonesia yang melibatkan para pelaku hubungan industrial yaitu pemerintah, serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB), dan Apindo.

Namun, Timboel menilai, jika fungsi dan kewenangan dewan pengupahan daerah maupun pusat dibatasi keberadaan Inpres No. 9 Tahun 2013 dan Permenakertrans No. 7 Tahun 2013 maka dewan pengupahan menjadi forum yang tidak obyektif, tidak transparan dan tidak demokratis.

"Seharusnya Inpres No. 9 dan Permenakertrans No. 7 tidak perlu lahir, karena justru dengan kehadiran inpres dan permenakertrans tersebut membuat permasalahan pengupahan terutama penetuan nilai upah minimum menjadi masalah bagi kalangan buruh," ujarnya Selasa (22/10).

Timboel mengungkapkan beberapa isi Inpres dan Permenakertrans tersebut yang mengganggu kerja-kerja Dewan pengupahan. Pertama, inpres dan permenakertrans tersebut memposisikan dewan pengupahan untuk merekomendasikan nilai upah minimum hanya berdasarkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Kedua, menetapkan besaran kenaikan UMP/K yang upah minimumnya telah mencapai KHL atau lebih secara bipartit antara pemberi kerja dan pekerja dalam perusahaan masing-masing.

Ketiga, adanya proses pengklasifikasian kenaikan upah minimum. Keempat, pembatasan waktu kerja dewan pengupahan paling lambat 1 nopember 2013, dan kelima, diperbolehkannya industri padat karya untuk tidak mematuhi upah minimum yang ditetapkan.

Dengan adanya pembatasan-pembatasan tersebut, tutur Timboel, maka kerja-kerja dewan pengupahan akan menjadi tidak obyektif, tidak transparan dan tidak demokratis, dan akibatnya SP/SB tidak percaya pada peran pemerintah yang tidak bisa adil dalam permasalahan upah minimum ini.

"Pemerintah tidak terbuka kepada kalangan buruh atas kehadiran Inpres dan permenakertrans upah minimum tersebut," kata dia.

Timboel juga mengatakan lembaga LKS Tripartit justru ditinggalkan oleh pemerintah dalam masalah kehadiran inpres dan permenakertrans tersebut.

"Menakertrans malah melanggar sendiri Kepmenakertrans no. 355 tahun 2009 tentang Tata Kerja Lembaga LKS Tripartit," kata dia. 

Mengenai imbauan Menakertrans Muhaimin Iskandar terkait demo, Timboel menilai seharusnya justru pemerintah yang harus instrospeksi diri.

Pemerintah, kata dia, yang memulai konflik dengan menaburkan benih-benih tetidak percayaan buruh kepada pemerintah sehingga SP/SB memilih untuk berdemo dan mogok nasional tanggal 28-30 Oktober ini.

"Kalangan SP/ SB memandang rendah himbauan Cak Imin tersebut," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement