REPUBLIKA.CO.ID 68 tahun silam, kata ini begitu populer. Begitu dinanti oleh seluruh bangsa Indonesia. Pembacaan proklamasi, dilanjutkan pidato singkat tanpa teks oleh Soekarno dan pengibaran bendera Merah Putih yang dijahit oleh ibu Fatmawati, kemudian tersebar luas ke penjuru negeri, meski pasukan Jepang sempat melarang penyebaran berita proklamasi via radio. Proklamasi kemerdekaan akhirnya disebarluaskam melalui pemasangan plakat, poster, sampai coretan di tembok dan gerbong kereta api dengan slogan ‘Respect Our Constitution August 17!!!’
Saat Soekarno memproklamirkan kemerdekaan, rasanya hilang sudah sebuah beban yang bersarang di hati para penduduk Indonesia kala itu. Menjadi manusia merdeka seutuhnya di tanah kelahiran. Menjadi manusia merdeka yang terlepas dari tindasan bangsa lain.
Makna manusia merdeka kala itu begitu terasa hebatnya, hingga bergetar bibir dan hati saat memekikkan “Merdeka!’ Kini, setelah 68 tahun berlalu, masihkah kita bisa memaknai manusia merdeka? Setelah tak ada lagi paksaan dan tindasan dari penjajah, masih bergetarkah hati saat mendengar teriakan merdeka?
Menjadi manusia merdeka yang bukan sekedar kata-kata harusnya tidak semakin sulit untuk dilakukan. Merdeka dari segala ketidakberdayaan untuk berkarya, bisa langsung dilakukan. Merdeka dari belenggu ketidaktahuan, merdeka dari kebodohan, serta kemiskinan sudah seharusnya menjadi prioritas utama.
Pekik merdeka seharusnya tak kalah lantang dengan maknanya. Merdeka untuk meraih beragam kesempatan yang ada. Merdeka untuk bisa percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki. Merdeka dari segala beban yang kita buat sendiri. Kawan, saatnya kita teriakkan kemerdekaan, tak hanya lantang di bibir, tapi juga semangat di tiap aksi. (ADV)