REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbagai kasus pesta minuman keras (miras) oplosan yang menelan korban tewas beberapa hari terakhir, mesti dipandang sebagai masalah serius oleh semua pihak, terutama pemerintah. Sayangnya, keberadaan regulasi berskala nasional yang dibutuhkan untuk mencegah atau meminimalisasi kejahatan dan kematian akibat minuman haram itu, belum juga jelas nasibnya.
Wakil Ketua Baleg DPR, Anna Muawanah mengatakan, perumusan RUU Antiminuman Beralkohol membutuhkan waktu yang panjang. Ia tidak sepenuhnya yakin draf RUU ini dapat diajukan sebagai hak inisiatif DPR dalam masa sidang sekarang. Karena masih sedang dibahas di Baleg.
Meski pun sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini, saat ini timnya masih perlu memperbaiki naskah akademik RUU tersebut dan menerima berbagai masukan dari para pakar. "Tapi kami akan upayakan RUU ini bisa dipercepat perumusannya," kata politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu, Jumat (23/8).
Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Taslim Chaniago, meminta pemerintah segera menerbitkan peraturan pemerintah (PP) antiminuman beralkohol. Apalagi, regulasi yang mengatur peredaran dan pengendalian miras secara nasional praktis mengalami kekosongan pascadibatalkannya Keppres Nomor 3/1997 oleh Mahkamah Agung, beberapa waktu lalu.
"PP miras ini penting dalam rangka pencegahan, sampai diundangkannya RUU Antiminuman Beralkohol yang saat ini masih dalam pembahasan di Baleg,” kata Taslim.
Berbeda dengan Taslim, Mendagri Gamawan Fauzi justru berpendapat, pemerintah pusat tidak perlu mengeluarkan PP miras. Ia mendorong agar DPR segera mempercepat perumusan dan pengesahan RUU Antiminuman Beralkohol.
Ia lebih sepakat jika pemerintah provinsi dan kabupaten kota segera menerbitkan peraturan daerah (perda) miras untuk mengisi kekosongan payung hukum soal miras. "Kami berharap ada inisiatif dari daerah untuk melahirkan perda miras. Jika nanti RUU-nya sudah disahkan, pemda tinggal menyesuaikan saja," ujar mendagri, Kamis (22/8).