Selasa 03 Sep 2013 23:46 WIB

Kekeringan Bikin Petani Eksodus ke Kota

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Karta Raharja Ucu
Kekeringan
Foto: cbc.ca
Kekeringan

REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Sejumlah warga di wilayah langganan kekeringan di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, kembali melakukan eksodus ke sejumlah kota besar.

Mereka terpaksa melakukan hal ini untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik, setelah lahan pertanian mereka mengering akibat dampak musim kemarau. Meski hanya menjadi pekerja serabutan atau pekerja bangunan lepas, para petani ini mengaku dapat menyambung hidup ketimbang bertahan di desa.

"Karena para petani sudah tidak dapat bercocok tanam," ungkap Muntarimah (43), warga Desa Semowo, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang, Selasa (3/9).

Ia menuturkan, sudah satu bulan terakhir sawah di wilayah desanya mengering, setelah debit air irigasi terus menyusut dan kini mengering. Akibatnya, para petani tidak dapat bercocok tanam. Untuk menyambung hidup, beberapa di antara mereka terpaksa pergi ke kota besar untuk mencari pekerjaan lain.

Tak hanya di sejumlah kota besar yang ada di Jateng, tak jarang warga desanya juga merantau hingga ke DKI Jakarta. Termasuk Sugiarto (42), suaminya yang terpaksa juga meninggalkan keluarga untuk mencari pekerjaan serabutan di Kota pekalongan. "Setiap tahun, banyak warga Semowo yang pergi ke kota saat musim kemarau tiba. Karena lahan pertanian di desa ini umumnya lahan tadah hujan," ujarnya menjelaskan.

Muntarimah juga mengaku, suaminya pernah mencoba peruntungan dengan melakukan perubahan pola tanam palawija. Namun hasilnya juga kurang maksimal. Menanam jagung juga pernah dilakukan, namun saat panen hasilnya tidak seberapa. Hanya laku Rp 350 per kilogram.

"Karena itu, suami saya lebih memilih menjadi pekerja serabutan atau terkadang pekerja bangunan lepas di kota,” tambahnya.

Terpisah Kepala Desa Semowo, Hendro Wiyono (47) mengaku, saat musim kemarau tiba sebagian warganya --umumnya yang petani-- memilih eksodus ke kota. Para petani ini terpaksa melakukannya untuk tetap dapat mencari nafkah, setelah lahan pertanian mereka mengering karena kekurangan air.

Biasanya, jelas Hendro, para petani yang mendapatkan pekerjaan di kota besar wilayah Jateng bisa meyempatkan pulang ke kampung halaman sepekan sekali. "Namun mereka yang bekerja sampai di kota besar luar provinsi Jawa Tengah, umumnya baru pulang ke kampung halaman satu bulan sekali," jelasnya.

Berdasarkan perkiraan Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jateng, perkiraan awal musim hujan di Jawa Tengah akan jatuh pada Oktober. Menurut prakirawan BMKG, Septima, Agustus merupakan puncak musim kemarau di Jateng. Memasuki September ini potensi hujan sebenarnya sudah mulai meningkat.

Curah hujan untuk wilayah utara jawa tengah sudah mencapai 150 milimeter dan curah hujan di wilayah selatan sudah mencapai 200 milimeter. "Artinya curah hujan ini sudah di atas normal dan potensi hujan di sejumlah wilayah Jawa Tengah sudah sangat terbuka," tambahnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement