Konflik berdarah di Poso merupakan tragedi kelam yang tertoreh di Sulawesi Tengah. Kini, para pihak yang bertikai terus berupaya menyembuhkan luka, menghapus dendam, dan merajut damai.
Hari itu, Selasa 23 Mei 2000, ribuan warga Kristen menyerbu Desa Tokorondo, Poso Pesisir. Serangan ini merupakan salah satu episode kelam dalam rangkaian panjang konflik Poso.
Serangan serentak Pasukan Merah di sejumlah lokasi ini membuat pihak Muslim kalang kabut. Mereka tak sempat melakukan persiapan. Tokorondo pun terbakar. Ratusan Muslim meregang nyawa, yang selamat mengungsi ke tempat aman.
Baso M Tahir, warga Tokorondo yang selamat, geram dan marah. Lima anggota keluarganya—dua paman dan tiga sepupu—tewas jadi korban. “Saya mengenali mereka lewat gigi dan sisa baju mereka yang hangus. Sebagian lagi saya kenali dari tulang kaki yang digantung di atas pohon,” tutur lelaki yang biasa disapa Ateng ini.
Kepala Desa Tokorondo A Jabir meminta pemuda dan pria dewasa bertahan semampu mereka, memberi kesempatan kepada wanita dan anak-anak untuk mengungsi ke tempat aman. “Setelah bertahan sekitar setengah hari, kami pun mundur dan ikut mengungsi,” Ateng melanjutkan kisahnya.
Warga Tokorondo berjalan kaki sejauh 80 kilometer ke tempat pengungsian di wilayah Parigi Moutong. Sebulan tinggal di tempat pengungsian, Ateng merasa tidak nyaman. Ia dan beberapa temannya pun berinisiatif kembali ke desa mereka.
Menumpang truk polisi, mereka berangkat ke Poso. Tokorondo yang mereka dapati hancur lebur, sebagian besar bangunan telah rata dengan tanah. Ateng kemudian mengurus kebunnya sambil berjaga-jaga jika muncul serangan susulan. Tak lama kemudian, sejumlah warga lain datang menyusul.
Menjelang akhir 2000-an, Ateng mendapatkan formulir yang disebar sejumlah orang. Isinya berupa ajakan untuk mengikuti tadrib askari (latihan militer). Ateng dan 15 orang rekannya kemudian bergabung dalam latihan itu. Ia menjalani tadrib selama tiga bulan dengan berpindah-pindah tempat di gunung-gunung seputaran Poso.
Para pelatih tadrib, tutur Ateng, rata-rata orang Jawa bekas pejuang Moro (Filipina Selatan). Ia dan peserta lainnya mendapatkan latihan fisik, tembak-menembak, strategi penyerangan dan pertahanan hingga siraman rohani. Setelah dinyatakan lulus, ia mendapatkan jatah senjata api organik dan amunisi. Inilah yang mereka gunakan untuk membalas serangan yang dilakukan Pasukan Merah.
Ateng kemudian diangkat sebagai kepala pasukan wilayah Poso Pesisir. Sejak awal 2001, ia dan pasukannya mulai menyerang secara gerilya. Hal itu berlangsung beberapa lama. Namun, memasuki 2003, Ateng merasa lelah. Apalagi kebunnya tak ada yang mengurus. Ia pun memutuskan berhenti berjuang.
Konflik komunal yang melanda Poso pada 1998, menurut sebagian pihak yang terlibat, terjadi karena pemerintah lamban mengantisipasi gejolak di masyarakat. Padahal, provokasi tentang bakal munculnya aksi saling serang semakin merebak. Maka, perang saudara pun pecah di kota berjuluk Sintuwu Maroso itu.
Jimmy Metusala, salah seorang mantan komandan Pasukan Merah, mengungkapkan, penyerangan yang dilakukan ke kantong-kantong komunitas Muslim bergantung pada situasi dan kondisi. “Bisa pagi, siang, atau malam hari. Tergantung pula pada kesiapan pasukan,” ujar pria 43 tahun itu.
Pasukan Jimmy dan pasukan Ateng bahkan kerap baku tembak di sejumlah lokasi pertempuran. Senjata yang digunakan, kata Jimmy, umumnya senjata api rakitan. Ada juga senjata tradisional, seperti panah, pedang, dan tombak.
Selain memimpin penyerangan, tugas Jimmy lainnya adalah mengoordinasi pemuda-pemuda Kristen untuk menjaga daerah mereka agar tidak diserang musuh. Ia juga memimpin evakuasi terhadap warga yang jadi korban serangan pasukan Muslim.
Jimmy menuturkan, banyak desa Muslim yang telah diserangnya. Dalam tiap kontak senjata, ia tak tahu berapa banyak korban yang berhasil dibunuh. “Korban dari pihak Muslim banyak. Korban dari pasukan Kristen juga banyak,” kata warga Lombogia, Poso Kota ini.
Kini, Jimmy merasa menyesal. Ia mengakui, tindakan yang ia lakukan salah dan berdampak buruk bagi orang lain. “Pada saat konflik, kita tidak memedulikan nilai-nilai kemanusiaan. Targetnya membunuh atau dibunuh. Pada tahap ini, orang sudah kehilangan akal sehat,” ujarnya lirih.
Kondisi Poso saat ini mulai membaik. Jimmy pun bebas berhubungan dengan teman-temannya yang Muslim. Bahkan, ia dan Ateng kini jadi sahabat karib. Keduanya bertekad menghapus sisi kelam sejarah Kota Sintuwu Maroso yang mereka cintai. “Kami menjalin komunikasi dan berbagi informasi. Jika ada rumor atau isu, kami saling klarifikasi,” katanya.
Jimmy berharap, ke depan tak ada lagi konflik di Poso. Menurutnya, banyak hal yang bisa dilakukan dalam menyelesaikan masalah tanpa menggunakan kekerasan. Bagi Ateng, ia hanya ingin pemerintah semakin aktif berperan dalam membangun komunikasi antarwarga. Komunitas Muslim dan Nasrani harus bersatu kembali dan tak tersekat lagi.
Walau terlalu muluk, kata Ateng, ia bermimpi Poso bisa kembali seperti dulu, ketika masyarakat Muslim dan Kristen duduk berdampingan. Membangun rumah bersama, menggarap sawah bersama, hingga badero (menari tarian khas Poso) bersama. Ia hanya ingin noktah hitam yang menempel di halaman sejarah tanah kelahirannya terhapuskan.
***
Abdullah (45), sopir taksi di Kota Palu, tiada henti berceloteh ketika mengantar saya menuju Kelurahan Tatanga, Selasa (20/8) siang. Hari itu menjadi hari bersejarah di kawasan yang terletak di Kecamatan Tatanga, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Di sinilah para tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda, pejabat daerah, hingga perwakilan masyarakat menjalani prosesi Deklarasi Kearifan Lokal. Sebuah akad yang diikrarkan untuk meredam konflik yang kerap terjadi di bumi berjuluk Maliu Ntinuvu.
“Saya bosan dengan konflik yang terjadi di kota ini, membuat kitorang semua susah. Lebih baik memikirkan bagaimana mencari makan daripada baku hantam,” kata Abdullah. “Kalau kitorang hidup damai, semua akan serbaindah.”
Keluhan bapak dua anak ini ada benarnya. Konflik di tanah kelahirannya seolah menjadi budaya masyarakat. Pada 2012 saja, tercatat ada 102 kasus konflik yang terjadi di Sulawesi Tengah. Sejak awal 2013 hingga Agustus, puluhan konflik antarwarga kerap meletus di sejumlah wilayah. Beragam penyebab diduga sebagai biang kerusuhan. Walau berbagai cara sudah ditempuh, konflik sosial tak jua reda.
Salah satu daerah yang paling ‘rajin’ menyetor konflik adalah Kabupaten Sigi. Sepanjang 2012, Polda Sulawesi Tengah mencatat, terjadi 60 kasus bentrok di wilayah yang terkenal dengan Danau Lindu itu. Hingga pertengahan Agustus 2013, konflik di Sigi telah mencapai belasan kali.
Bupati Sigi Aswadin Randalembah menuding, salah satu penyebab konflik di wilayahnya adalah pengangguran dan kemiskinan. Selain itu, warga begitu mudah terprovokasi oleh sesuatu yang tidak jelas.
“Kebanyakan berdasarkan ‘katanya’. Katanya begini, katanya begitu. Dari sini kami dapat menyimpulkan, ada pihak-pihak yang sengaja memprovokasi dan ingin menjadikan wilayah kami tidak aman,” ujarnya.
Selama ini, ia melanjutkan, pemerintah terus melakukan perdamaian antarwarga, namun konflik masih saja terjadi. Misalnya, pemerintah telah mendamaikan dua desa yang berkonflik, ternyata konflik pecah lagi di desa lainnya.
Untuk itu, Aswadin meminta warganya untuk selalu menyaring tiap informasi yang mereka terima dan mengklarifikasi rumor atau isu yang beredar.
Di Ibu Kota Sulawesi Tengah, bentrok warga juga kerap terjadi di berbagai tempat. Polisi juga menengarai aksi kekerasan ini akibat ulah provokator. Kepala Kepolisian Resor Kota Palu AKBP Trisno Rahmadi mengaku telah mengantongi nama-nama provokator. Namun, ia tak bisa serta merta melakukan penangkapan. Dalihnya, demi menghindari dampak buruk di masyarakat.
Direktur Eksekutif Institut Titian Perdamaian (ITP) Mohamad Miqdad menilai, konflik yang terus berulang di Sulteng terjadi karena ada problem-problem kultural di masyarakat. Selain itu, ada juga problem politik berbasis tradisional, seperti kekerabatan, kesukuan, maupun etnis. “Berbagai problem ini berelasi dengan intensitas konflik yang cukup tinggi,” ujarnya.
Untuk menyelesaikan kasus ini, menurut Miqdad, pemerintah harus melihat faktor dasar dari konflik. Orang-orang yang berkonflik ini sebagian besar tidak memiliki pekerjaan. Di sinilah diperlukan intervensi pemerintah yang terukur dengan baik. “Selama ini pemerintah hanya menyentuh faktor pemicu dan akselerator konflik, bukan faktor strukturalnya. Kita cenderung menjadi pemadam kebakaran.”
Padahal, tegas Miqdad, Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Konflik Sosial secara gamblang memberikan perspektif yang jauh ke depan; pencegahan lebih dikedepankan ketimbang resolusi konflik. "Simpul-simpul di masyarakat harus dihidupkan melalui pelatihan, pertemuan, dialog, atau diskusi yang terprogram rapi. Ini pekerjaan yang cukup panjang dan butuh political will yang serius,” katanya.
Selain itu, aktivis muda yang kerap memberikan advokasi pada korban konflik ini meminta pemerintah agar menegakkan hukum dengan tegas. Namun, penegakan hukum tidak boleh dilakukan dengan pendekatan kekerasan. Yang dibutuhkan adalah early warning system agar hubungan antara masyarakat dan pemerintah berjalan dengan baik.
***
Selasa (20/8) siang, ratusan warga Kota Palu dari berbagai desa berkumpul di sebuah tanah lapang yang terdapat di Kelurahan Tatanga, Kecamatan Tatanga. Mereka menghadiri sebuah peringatan berserajah; Deklarasi Kearifan Lokal.
Deklarasi Kearifan Lokal ini dihadiri oleh Menteri Sosial Salim Segaf al-Jufri, Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola, Wakil Wali Kota Palu Mulhanan Tombolotutu, para tokoh adat dan agama, tokoh pemuda, pejabat Provinsi Sulawesi Tengah, serta perwakilan masyarakat.
Deklarasi ini merupakan kesepakatan warga dalam rangka mengurangi terjadinya bentrokan dan tindakan kriminal di masyarakat.
Dalam beberapa bulan terakhir, Kota Palu dilanda puluhan bentrok antarwarga yang terjadi di sejumlah tempat. Bentrok itu pada umumnya dipicu dendam lama yang tersulut kembali akibat ulah sekelompok orang.
Penyelesaian konflik telah dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan menciptakan sejumlah lapangan pekerjaan. Namun, usaha ini tak kunjung menampakkan hasil nyata. Karenanya, Deklarasi Kearifan Lokal yang lebih menekankan penyelesaian adat diharapkan dapat menyadarkan warga agar mengedepankan semangat persaudaraan dan kekeluargaan.
Ketua Dewan Adat Tatanga Asrar mengatakan, hukum dan sanksi adat ini bertujuan untuk menjunjung kearifan lokal di wilayah rawan konflik tersebut. Selain itu, ikrar bersama ini juga bertujuan untuk menegakkan budi pekerti dan menghindari tindakan tak terpuji lainnya.
Beberapa sanksi yang disebutkan dalam deklarasi adat antara lain, ditenggelamkan di laut, diusir dari kampung, dikucilkan dari masyarakat, dan membayar denda berupa hewan atau perlengkapan adat. “Jika ada warga yang melanggar aturan ini, akan mendapat sanksi adat,” tegas Asrar.
Mulhanan Tombolotutu berharap deklarasi adat ini bisa diterapkan secara maksimal. “Untuk tahap awal, disosialisasikan di Kecamatan Tatanga. Selanjutnya, daerah-daerah lain di Kota Palu diharapkan menerapkan hal serupa,” ujarnya. Bagi Mulhanan, pemberian sanksi adat kepada pelaku bentrok dinilai lebih efektif ketimbang sanksi hukum positif.
Salim Segaf al-Jufri menyambut baik upaya warga dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah tersebut. “Saat ini diperlukan local wisdom (kearifan lokal). Negeri ini akan maju kalau kita bergandengan tanpa memandang suku, bahasa, agama, atau golongan,” ujarnya ketika ditemui usai deklarasi.
Di Tatanga, Menteri Salim juga memberikan bantuan dana rehabilitasi sosial pascakonflik kepada pemerintah setempat sebesar Rp 7 miliar lebih. Pemberian bantuan ini merupakan salah satu upaya Kementerian Sosial RI dalam menciptakan perdamaian melalui program yang disebut Keserasian Sosial.
Dalam program ini, kata Salim, Kementerian Sosial ingin menciptakan pelopor-pelopor perdamaian. Penyelesaian konflik harus dilakukan oleh masyarakat yang bersangkutan, bukan pihak luar. Kementerian Sosial hanya memberikan arahan dan bimbingan.
“Itulah mengapa kita ingin di daerah muncul pelopor perdamaian. Jika suatu saat ada yang emosi, para pelopor inilah yang akan menciptakan suasana cooling down (tenang).”
Berdasarkan data Kementerian Sosial, sejak Februari-Juni 2013, konflik sosial di Sulawesi Tengah telah mengakibatkan 76 rumah rusak berat dan empat orang luka-luka. Korban rumah rusak terbanyak di Kota Palu (41 rumah), disusul Kabupaten Sigi (30 rumah) dan Parigi Moutong (5 rumah).
Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial (PSKBS) Kementerian Sosial Syihabuddin menilai, apa yang dilakukan warga Palu itu sebagai bentuk tekad untuk kembali pada kearifan lokal. Sebab, kata dia, penyebab utama konflik adalah hilangnya kearifan lokal.
Di Sigi, Syihabuddin menjelaskan, ada bahasa kearifan lokal yang hilang, yaitu belo ravovia belo rakava (baik diperbuat, baik pula dihasilkan). Kearifan lokal yang hilang di Palu; no sarara no sabatutu (satu hati satu tujuan).
Sementara bahasa kearifan lokal yang hilang di Poso adalah sintuwu maroso (persatuan yang kuat). “Demikian pula dengan sejumlah bahasa kearifan lokal di berbagai wilayah Tanah Air, semakin tergerus dan memudar,” kata penggagas proyek Keserasian Sosial ini.
Kembali pada Atura Nuada
Untuk mengembalikan semangat kearifan lokal, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Sulteng melakukan inventarisasi kajian hukum dan sanksi adat Kaili di Kota Palu. Berdasarkan kajian ini, diterbitkanlah buku Atura Nuada Ante Givu Nuada To Kaili Ri Livuto Nu Palu (Hukum dan Sanksi Adat Kaili di Kota Palu).
Hukum dan sanksi adat di Tanah Kaili sebenarnya telah berlaku sebelum masuknya agama dan prapenjajahan bangsa asing di Kota Palu. Hal ini merupakan bagian dari proses kebudayaan masyarakat Kaili yang memegang teguh adat istiadatnya. Aplikasi hukum dan sanksi adat Kaili berorientasi pada ketetapan givu (sanksi).
Provinsi Sulteng memiliki 10 kabupaten dan satu kota. Etnis Kaili terdiri dari atas 23 subdialek dan lima di antara penutur subdialek tersebut mendiami Kota Palu. Kelima penutur ini masuk dalam lima wilayah keadatan. Masing-masing Kaili Ledo 25 kelurahan, Kaili Rai delapan kelurahan, Kaili Tara tujuh kelurahan, Kaili Doi tiga kelurahan, dan Kaili Unde dua kelurahan.
Secara historis, penduduk asli Kota Palu berasal dari lereng-lereng pegunungan sebelah barat dan timur kota itu. Akibat dari berbagai migrasi yang terjadi di Sulteng, terjadilah percampuran darah dan budaya antarpenduduk setempat.
Walaupun penduduk asli suku Kaili sebagai penghuni pertama yang mendiami Kota Palu dan sekitarnya, suku-suku lainnya dapat hidup berdampingan dengan masyarakat Kaili. Hal ini menyebabkan terjadinya akulturasi dan asimilasi budaya yang ditandai dengan adanya kawin-mawin.
Hukum adat merupakan salah satu simbol status sosial, mempunyai kedudukan sangat menentukan untuk menampakkan status seseorang dalam masyakarat Kaili. Semakin berat sanksi dan denda yang dibayar, semakin tinggi pula status sosial yang bersangkutan di masyarakat.
Oleh sebab itu, tiap masyarakat dalam kelompok etnis Kaili selalu mengembangkan berbagai macam sanksi adat sebagai pengukuhan aturan yang berlaku. Hal ini memberikan interpretasi bahwa hukum adat identik dengan tindakan preventif. Artinya, ada peran dan partisipasi masyarakat di dalamnya sehingga masyarakat tunduk dan taat terhadap hukum dan sanksi adat tersebut.
Dalam konteks masyakat Kaili yang mendiami Kota Palu, untuk menata kehidupan sosial kemasyarakatan, disepakatilah norma-norma yang meliputi posumba (ucapan), ampena (perilaku), dan kainggua (tindakan).
Sanksi adat diberlakukan bagi siapa saja yang melanggar adat, termasuk dari golongan madika (bangsawan), ntina (tokoh dan pemangku adat), hingga todea (masyarakat umum). Demi menjunjung penegakan nilai dan norma adat, seluruh masyarakat yang berada dalam lima wilayah keadatan memperoleh hukum (sanksi) yang sama walau berbeda suku, pangkat, atau golongan.
Tujuan hukum (sanksi) adat ini untuk memberikan penanaman nilai budi pekerti dan melindungi seluruh warga dari perbuatan sewenang-wenang dan tindakan yang tak terpuji. Karena itu, hukum dan sanksi adat dimaksudkan untuk menciptakan peradaban dalam kehidupan sosial kemasyarakatan menuju suatu kehidupan yang damai, aman, dan berkeadilan.
Berdasarkan kesepakatan para tokoh Sulteng dalam Deklarasi Kearifan Lokal yang ditandatangani di Tatanga, semua pihak akan menerima dengan baik Atura Nuada Ante Givu Nuada To Kaili Ri Livuto Nu Palu tersebut.
Di antara butir aturan Atura Nuada (hukum adat) itu antara lain, sala kana (hukuman bagi pelanggar norma adat kategori berat), sala baba (hukuman bagi pelanggar norma adat kategori sedang), dan sala mbivi (hukuman bagi pelanggar norma adat kategori ringan).
Adapun bentuk givu (sanksi adat) yang disepakati antara lain, givu salakana (sanksi adat berat), givu sala baba (sanksi adat sedang), dan givu sala mbivi (sanksi adat ringan). Bentuk sanksinya, mulai dari ditenggelamkan di laut, diusir dari kampung halaman, hingga membayar denda.
Bentuk-bentuk pelanggaran yang diatur dalam Atura Nuada dan Givu antara lain, perzinaan, pencurian, penganiayaan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penghinaan, penipuan, hingga pencemaran nama baik.
***
Untuk menangani konflik sosial yang terjadi, Pemerintah Pusat juga telah menerbitkan Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Semangat UU No 7/2012 ini dinilai lebih menekankan sisi pencegahan konflik ketimbang penanganan konflik.
Pada Pasal 6, misalnya, UU ini menyebutkan sejumlah poin yang perlu dilakukan dalam mencegah konflik. Diantaranya, memelihara kondisi damai di masyarakat, mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai, meredam potensi konflik, dan membangun sistem peringatan dini.
Selain itu, UU ini juga menegaskan sejumlah hal yang berkaitan dengan pemeliharaan perdamaian. Antara lain, dengan mengembangkan sikap toleransi dan saling menghormati, memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya, mengembangkan persatuan atas dasar kebhinekaan, serta menghargai pendapat dan kebebasan orang lain.
Kepala Biro Humas Kementerian Sosial Benny Setya Nugraha mengatakan, semangat UU No 7/2012 tetap dalam koridor Indonesia sebagai negara pluralistik yang berpedoman pada empat pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Pencegahan konflik yang ditegaskan dalam UU ini juga menekankan keseimbangan antarkohesivitas warga. Dan, empat pilar kebangsaan merupakan komponen yang tak terpisahkan,” ujarnya.
Pertikaian antarwarga, kata Benny, memang kerap menimbulkan korban harta maupun jiwa. Karenanya, pencegahan konflik lebih diutamakan. Salah satu caranya dengan menghidupkan kembali kearifan lokal. “Di sinilah peran Kementerian Sosial.”
Untuk itu, sambung Benny, Kementerian Sosial berupaya mewujudkan kondisi damai dengan mendorong terwujudnya keserasian sosial pada level desa/kelurahan. Caranya dengan memfasilitasi kebutuhan warga untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis. Bantuan Keserasian Sosial itu digunakan untuk berbagai kegiatan fisik maupun nonfisik yang dimanfaatkan oleh masyarakat.
Untuk satu desa atau satu lokasi, pemerintah menyediakan dana Keserasian Sosial sebesar Rp 109 juta. Kementerian Sosial kemudian menggelar pelatihan bagi tenaga pendamping dan pelopor yang terpilih untuk mengawal program ini.
Sejak 2006-2012, Pemerintah Pusat telah menyalurkan bantuan keserasian sosial di lebih dari 2.500 desa/kelurahan di seluruh Indonesia. Hingga kini, Kementerian Sosial juga telah mencetak sekitar 800 orang tenaga pendamping dan 200 pelopor perdamaian sebagai motor penggerak di masyarakat.
Suaib Djorimi, salah seorang pelopor Keserasian Sosial yang berdomisili di Kota Palu, mengaku bangga bisa terlibat dalam program ini. “Kami jadi tahu kapan konflik akan terjadi, dan langsung berusaha melakukan pencegahan,” ujarnya.
Contohnya, kata Suaib, jika berkembang isu atau rumor yang sekiranya dapat memanaskan situasi, ia akan mengklarifikasi kepada warga. Ia juga segera berkoordinasi dengan sesama pelopor di kampung atau desa lainnya.
Direktur PSKBS Kementerian Sosial Syihabuddin merasa yakin program Keserasian Sosial yang digagas pemerintah dapat mengurangi konflik di Indonesia. “Kesuksesannya bergantung pada perubahan di daerah itu sendiri,” katanya. “Apakah sudah aman atau belum? Apakah sudah bebas konflik atau tidak?”
Dengan sejumlah aturan formal, sanksi dan hukum adat yang telah ditetapkan, termasuk program pemberdayaan yang digulirkan pemerintah, diharapkan konflik di Tanah Air bisa ditekan seminimal mungkin.
Mimpi Ateng dan Jimmy untuk badero bersama pun bakal terwujud kembali.