Senin 30 Sep 2013 15:47 WIB

'Jangan Sampai Ada Double Agent di KPU'

Rep: Ira Sasmita/ Red: Mansyur Faqih
Chusnul Mariyah
Foto: Aditya Pradana Putra/Republika
Chusnul Mariyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) diharapkan terbuka menjelaskan alasan kerja sama dengan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) dalam pengamanan pemilu. KPU harus menjelaskan kewenangan Lemsaneg berdasarkan nota kesepahaman yang diteken pada 24 September 2013 lalu itu.

"Kerja sama itu untuk apa, mau bantu di bagian mana, kewenangan Lemsaneg apa? Apa yang akan lemsaneg kerjakan dalam pengamanan data itu? Harus dijelaskan KPU agar tidak ada kecurigaan," kata dosen Ilmu Politik UI, Chusnul Mariyah kepada Republika, Senin (30/9).

Berdasarkan pengalaman saat menjabat sebagai komisioner KPU periode 2002-2007, Chusnul mengatakan, persoalan data dan sistem informasi pemilu memang cukup rumit. KPU memang menggandeng sejumlah pihak, seperti beberapa ahli dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), termasuk tim dari lemsaneg.

Namun, kerja sama tersebut menurut Chusnul tidak bersifat kelembagaan. KPU hanya meminta bantuan secara teknis dan situasional menyangkut beberapa hal yang memang membutuhkan masukan sesuai keahlian mereka. "Kalau toh kami mengajak BPPT hanya satu atau dua orang, bukan dalam bentuk MoU.Dari situ kami ingin mengurangi kemungkinan pencongkelan data, jangan sampai ada double agent di KPU," ujarnya.

KPU, lanjut Chusnul, pada pemilu 2004 lebih menekankan pada optimalisasi kemampuan kelembagaan dan kerja sama dengan akademisi, seperti mahasiswa-mahasiswa dari berbagai universitas.

Jika saat ini KPU menggandeng Lemsaneg, menurut Chusnul, maka wajar bila timbul kecurigaan. Mengingat Lemsaneg merupakan lembaga yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. "Kalau bukan lembaga yang tidak langsung berada di bawah presiden enggak apa-apa. Misanya LIPI, UI, ITS, dulu kami libatkan 54 ribu mahasiswa seluruh Indonesia," ungkap Chusnul.

Ia pun menyayangkan, KPU tidak belajar dari pengalaman penanganan informasi teknologi (IT) pemilu sebelumnya. Apalagi independensi penanganan sistem informasi dibutuhkan untuk menjamin keamanan data dan pelaksanaan, hingga penghitungan hasil pemilu.

"Sekarang ini amburadul, akses data pemilu dan data center yang dimiliki KPU bisa saja diketahui pihak lain. Ini kan gawat, karena di situ ada data penduduk dengan 12 variabel," ucap Chusnul.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement