REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Tinggi Negeri Kelantan Malaysia menangguhkan putusan sela hingga 17 November 2013 bagi Wilfrida Soik (20), TKI terancam hukuman mati asal Dusun Koloulun, Paturika, Raimanuk, Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Hakim tunggal yang mengadili Wilfrida, Datuk Akhmad Zaidi Ibrahim, Senin (29/9), menyatakan, agenda putusan untuk melanjutkan ataupun menolak perkara Wilfrida, tidak dapat dilaksanakan pada tanggal 29 September 2013.
Wilfrida didakwa oleh jaksa penuntut telah melanggar pasal pembunuhan berencana terhadap keluarga majikannya, Yeap Seok Pen (60) pada 7 Desember 2010, tidak dapat dilaksanakan dalam sidang pada 29 September itu. Wilfrida pun terancam hukuman mati.
Sidang tersebut dihadiri langsung Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Mohammad Jumhur Hidayat, Duta Besar RI untuk Malaysia Herman Prayitno, Anggota DPR Komisi IX Rieke Dyah Pitaloka, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, serta sejumlah penggiat kemanusiaan mewakili LSM tanah air di antaranya Usman Hamid.
Kedua orang tua Wilfrida, Rikardus Mau dan Maria Kolo, termasuk perwakilan Keuskupan Atambua (Belu), Pastor Gregorius Sainudin Dudy, pejabat pemerintah daerah berikut utusan DPRD Kabupaten Belu, juga turut menyertai jalannya sidang.
Menurut Jumhur, pengunduran putusan itu dipenuhi Hakim Zaidi Ibrahim dengan mempertimbangkan permohonan pengacara Wilfrida, Tan Sri Mohd Syafii Abdullah.
Di samping Tan Sri Syafii yang dikenal pengacara kondang Malaysia, tampak pula tim pembela dari kantor Rafitzi&Rao, yang ditunjuk KBRI Kuala Lumpur dalam mendampingi Wilfrida sejak awal mula kasus itu.
"Upaya pengacara untuk menambah kelengkapan bukti-bukti, terutama mengenai status usia Wilfrida di bawah 18 tahun saat kasusnya terjadi, mendapat persetujuan dari hakim," ujar Jumhur sekembali dari Malaysia, Selasa (1/10) di Jakarta.
Dengan usia itu pula, katanya, Wilfrida yang lahir pada 12 Oktober 1993 itu, tidak dapat dikenai ancaman hukuman mati atas dasar suatu pembunuhan berencana.
Ia menyebutkan, undang-undang di negara itu tidak membolehkan seseorang belum genap 18 tahun, dituntut hukuman mati dan sekaligus dinyatakan melakukan pembunuhan secara terencana.