Rabu 02 Oct 2013 12:59 WIB

Siapkah Indonesia untuk Liberalisasi Perdagangan?

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Nidia Zuraya
Ekspor-impor (ilustrasi)
Ekspor-impor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia akan mengangkat kembali isu utama yang tercantum dalam deklarasi Bogor Goals 1994 ke Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Nusa Dua Bali akhir pekan ini. Isu utamanya adalah implementasi proses liberalisasi perdagangan di antara negara-negara anggota.

Liberalisasi perdagangan itu dilakukan melalui penurunan hambatan-hambatan dagang, peningkatan investasi, peningkatan arus barang, jasa, modal, dan manusia secara bebas dan konsisten. Anggota APEC Business Advisory Council (ABAC), Heru Dewanto mengatakan Indonesia pada dasarnya belum siap untuk terjun ke dalam liberalisasi perdagangan.

"Pada dasarnya kita (Indonesia) belum siap. Oleh karenanya kita harus mempersiapkan diri sebab ini adalah sebuah kesempatan besar. Jika tanpa persiapan, Indonesia pasti dirugikan," ujar Heru kepada ROL di Bali, Rabu (2/10).

Indonesia, kata Heru, harus terus mempersiapkan diri dan secara bersamaan bergabung sebagai pemain dalam liberalisasi perdagangan itu. Syarat utama yang menopang kesiapan Indonesia adalah penggunaan teknologi untuk memanfaatkan sumber daya dalam negeri, khususnya sektor energi.

Sayangnya, dari sisi sumber daya pun, Indonesia kian terkikis karena tingginya permintaan (demand) di pasar. Heru memperkirakan cadangan batu bara dalam negeri hanya akan bertahan 150 tahun lagi, sedangkan natural gas dalam 200 tahun lagi.

Bogor Goals adalah kesepakatan negara-negara anggota APEC pada 1994 lalu di Indonesia. Beberapa sikap Indonesia dalam negosiasi ini adalah menyerukan kepada negara-negara anggota, khususnya negara maju untuk lebih adil (fair) mematuhi kesepakatan multilateral dalam aturan World Trade Organization (WTO). Sebab masih banyak negara anggota yang memberlakukan kebijakan perlindungan (proteksionisme) sehingga menjadi bottleneck dalam arus lintas perdagangan barang, khususnya barang-barang dari negara berkembang. Indonesia misalnya, menghadapi hambatan dalam memasarkan minyak sawit (CPO) dan karet.

Kebijakan liberalisasi perdagangan yang harus dimantapkan pada KTT APEC tahun ini di antaranya penyelesaian Putaran Doha, peningkatan efisiensi rantai suplai logistik hingga 10 persen, serta pengurangan hambatan barang-barang ramah lingkungan. Liberalisasi perdagangan di kawasan Asia Pasifik biasanya dilakukan negara-negara anggota melalui unilateral atau melalui perjanjian perdagangan bebas (free trade aggrement).

Wakil Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia, Erwin Sadirsan mengatakan Bogor Goals mencakup tiga pilar utama, yaitu pangan, energi dan air. Jika salah satunya tidak kokoh, maka tujuan Indonesia tidak akan tercapai.

Perdagangan bebas semestinya menciptakan fair trade. Jika negara ini terbuka untuk negara lain, maka negara lain juga harus bersikap sama kepada Indonesia. Erwin mencontohkan ketidaksiapan Indonesia menghadapi perdagangan bebas ini juga ditunjukkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang setengah hati.

Misalnya, pemerintah belum memutuskan seberapa banyak energi baru dan terbarukan (EBT) yang benar-benar menjadi komitmen pemerintah untuk dikembangkan. Padahal, kata Erwin, Indonesia bisa belajar dari Thailand, Jepang, dan Amerika Serikat yang menerapkan feed in tariff dan standar EBT.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement