REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Mahkamah Konstitusi perlu diawasi agar menjadi peradilan yang berwibawa dan bermartabat, kata pakar hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Sri Hastuti Puspitasari.
"Pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) perlu dilakukan, karena selama ini tidak ada yang mengawasi perilaku hakim konstitusi," katanya di Yogyakarta, Minggu.
Menurut dia, MK tidak mempunyai mekanisme pengawasan internal secara mapan. Jika ada, wewenang itu ada pada Majelis Kehormatan Hakim (MKH), tetapi sifatnya lebih kepada pengawasan represif, karena MKH baru dibentuk jika ada dugaan pelanggaran etika oleh hakim.
"MK juga tidak mau diawasi oleh lembaga pengawas eksternal. Ketika pengujian UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY), MK membatalkan fungsi pengawasan KY, termasuk pengawasan terhadap MK," katanya.
Ia mengatakan, sejak putusan itu MK menjadi lembaga yang "powerfull", dan seiring dengan berpindahnya penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) dari Mahkamah Agung (MA) ke MK, maka MK menjadi semakin "powerfull".
"Bayangkan, masalah sengketa ratusan pilkada di seluruh Indonesia akan ditentukan nasibnya hanya oleh sembilan hakim konstitusi, belum lagi wewenang MK lainnya yang membuat kekuasaan MK begitu besar dalam menentukan nasib bangsa ini," katanya.
Padahal, kata dia, ketika MK "powerfull" dan tidak ada lembaga yang memberi "check and balance", tidak ada lembaga yang mengawasi perilaku para hakimnya, maka potensi penyalahgunaan wewenang ada di depan mata.
Menurut dia, tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar menjadi satu bukti bahwa lembaga yang tidak mau diawasi itu ternyata melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan. Atas dasar itu, sudah saatnya MK diawasi oleh lembaga pengawas eksternal maupun internal.
"Pengawas eksternal dilakukan oleh KY, karena KY merupakan lembaga yang secara konstitusional berwenang untuk itu, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945," kata Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII itu.