REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keterlibatan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) dalam mengamankan data pemilu masih menjadi perdebatan antara partai politik, DPR, pemantau dan penyelenggara pemilu.
Untuk menjawab keraguan tersebut, pada rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR, Kamis (17/10), Lemsaneg akhirnya membuka kelemahan sistem informasi yang dimiliki KPU.
Sayangnya, pemaparan tentang sistem KPU di mata lembaga penyandi tersebut dilakukan secara tertutup. Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PAN, Abdul Hakam Naja mengatakan, penjelasan Lemsaneg yang berlangsung selama lebih dari 30 menit itu memang memperlihatkan belum sempurnanya sistem informasi dan teknologi yang dimiliki KPU.
"Yang dijelaskan tadi menyangkut hal apa saja yang patut disempurnakan dari sistem KPU. Karena ini jeroannya KPU, jadi memang dibuat tertutup," kata Hakam, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (17/10).
Menurut Hakam, Lemsaneg membuat contoh kecil bagaimana sistem yang sekarang dipakai KPU dengan cukup mudah diretas dan dibobol dari luar. Sehingga, Lemsaneg menyimpulkan keamanan sistem informasi dan teknologi yang digunakan KPU perlu diproteksi.
"Tapi ada perdebatan juga dari KPU, karena sistem IT (informasi dan teknologi) itu kan memang punya kelemahan dan kelebihan. Menurut KPU gak sepenuhnya begitu," ujar Hakam.
Komisi II, lanjut Hakam, menilai dari paparan yang disampaikan Lemsaneg memang ada beberapa hal yang perlu dikaji dan menjadi masukan bagi KPU. Apalagi penjelasan tersebut disampaikan Lemsaneg yang memiliki keahlian dalam penyandian dan penjagaan data yang sifatnya rahasia.
Namun, menurut dia, meski dibutuhkan proteksi data dan bantuan dari luar, KPU harus tetap mempertimbangkan posisinya sebagai lembaga yang bersifat independen. Karena sesuai dengan mandat undang-undang, keberadaan KPU dalam menyelenggarakan pemilu memang harus bersifat mandiri dan bebas dari intervensi.