REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana pembentukan Detasemen Khusus ( Densus) Antikorupsi menuai ragam tanggapan. Tak sedikit yang memberi dukungan agar satuan ini segera terbentuk.
Gencarnya detasemen yang terlebih dahulu beroperasi, Densus 88 Antiteror, dalam memberantas teroris membuat sejumlah pihak menilai Polri harus melakukan langkah yang sama pada kejahatan korupsi.
Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM) melihat ada manfaatnya bila sampai Densus ini terbentuk. Sisi positif yang Pukat lihat ialah fakta bahwa kekuatan pemberantasan korupsi oleh Densus Antikorupsi ditunjang oleh melimpahnya jumlah personel kepolisian.
Dibanding lembaga antikorupsi yang terlebih dahulu mapan berdiri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tentu ini menjadi nilai plus bagi detasemen itu. "Idenya laik dipertimbangkan serius. Bayangkan, dengan kekuatan hingga ke pelosok, kasus yang tak bisa dirambah KPK melalui Densus ini bisa ditangani," ujar Direktur Advokasi Pukat Oce Madril dihubungi ROL, Ahad (20/10).
Oce menilai kekuatan Polri yang menyebar dari ujung barat ke ujung timur Indonesia sangat bisa menjadi senjata mematikan Densus dalam memberantas korupsi. Sama persis dengan Densus 88, pergerakan aktif mereka yang dalam satu hari dapat melakukan penangkapan di lebih dari dua tempat berbeda bisa diaplikasikan.
"Sama formatnya, Densus masuk ke polisi-polisi di daerah. Ini bisa jadi kekuatan yang baik," ujarnya.Lebih dalam, Oce mengingatkan agar kelak saat terbentuk, Densus Antikorupsi mesti legowo untuk mencontoh KPK. Percontohan di sini, Densus harus dapat mengikuti kelihaian KPK dalam menelusuri kasus korupsi hingga ke akar-akarnya dalam suatu kasus.
Selain itu, sinergitas dengan KPK yang lebih dulu menjadi lembaga pemberantas korupsi harus selalu Densus jaga. Sehingga tak terjadi tumpang tindih apalagi berebut dalam penanganan sebuah kasus yang sama. "Ini bagus dan bisa ikut membantu pemulihan citra Polri. Asal, dilakukan dengan format dan praktek yang matang," ujarnya.