REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsudin menegaskan, keberadaan profesor atau guru besar, doktor, haji, ustaz, tokoh masyarakat, dan sebagainya, tapi bertindak korup, karena akademisi/agamawan itu tidak 'hanif'.
"Kita seringkali berada di persimpangan antara halal dan haram, tapi kita cenderung memilih yang haram, karena hal-hal yang haram itu mudah dan enak, jadi kita pun menjadi tidak hanif atau berpegang teguh pada kebenaran," katanya di Surabaya, Ahad (3/11).
Di hadapan ratusan jamaah Pengajian Ahad Pagi di Masjid Ummul Mukminin, Jalan Barata Jaya VIII, Surabaya, ia menjelaskan realitas itu menunjukkan profesor, doktor, ustaz, haji, tokoh masyarakat, dan sebagainya masih sebatas gelar atau status.
"Mestinya, kita bergelar atau ber-Islam itu bukan hanya nama (status atau identitas KTP/kartu tanda penduduk), melainkan gelar dan agama itu menjadi kepribadian. Jangan hanya 'to have Islam' (memiliki Islam) tapi bagaimana 'to be Muslim' (menjadi Muslim)," katanya.
Menurutnya, perilaku 'hanif' itu penting, karena 'hanif' itulah inti dari ajaran agama, bahkan inti dari ketiga agama samawi (langit), yakni Yahudi di zaman Musa, Nasrani di zaman Isa, dan Islam di zaman Muhammad saw.
"Semua agama itu berpusat kepada Ibrahim, karena semuanya merupakan cicit dari Ibrahim dan 'hanif' itu merupakan ajaran Ibrahim. Dalam Islam, istilah 'hanifan Musliman' itu ada dalam iftitah (awal shalat) dan Ibrahim itu juga ada dalam tahiyat (akhir shalat)," katanya.
Bahkan, ibadah haji itu merupakan ibadah yang berkaitan dengan keluarga Ibrahim, baik Siti Sarah, Siti Hajar, Nabi Ismail, dan Nabi Ibrahim sendiri, apalagi Nabi Ibrahim merupakan nabi yang menemukan Tuhan melalui proses pencarian.
"Saya sempat merenungkan pesan dalam shalat dan haji yang terkait dengan Ibrahim itu, lalu saya sampai pada kesimpulan kata 'hanif'. Itulah ajaran dari Ibrahim dan semua agama samawi juga mengarah ke 'hanif' itu," katanya.
Karenanya, mereka yang mengaku beragama Islam hendaknya tidak sebatas memakai identitas Islam, namun juga harus berperilaku 'hanif' atau memiliki komitmen yang kuat terhadap kebenaran, bahkan tidak ragu sedikit pun bila memang sudah menjadi perintah Allah SWT.
"Muslim yang hanif itu tidak menerima miliaran rupiah seperti seorang akademisi atau ustaz, karena hal itu membuatnya akan bertindak atau bersikap tidak benar atau tidak hanif. Kebenaran memang penuh dengan ujian, terutama dari godaan setan," katanya.
Bagi anak-anak muda, misalnya, bertindak atau bersikap yang meninggalkan narkoba, kehidupan serba bebas, dan sebagainya merupakan hal yang sulit, tapi anak-anak muda yang Muslim juga harus 'hanif' dalam masalah narkoba, seks bebas, dan sebagainya.