REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hatta Rajasa menyatakan prihatin dengan kabar penyadapan Australia terhadap telepon seluluer Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). "Kalau itu betul, maka saya tentu prihatin terhadap pola-pola seperti itu," ujar Hatta yang dalam periode penyadapan masih menjabat sebagai mensesneg, Senin (18/11).
Sebelumnya, laman the Guardian melansir sebuah dokumen rahasia dari Edward Snowden. Dalam dokumen tertanggal November 2009, Badan Intelijen Australia disebut menyadap telepon selular sejumlah pembesar negeri.
Selain SBY dan istrinya Ani Yudhoyono, sejumlah pejabat tinggi seperti Jusuf Kalla, Boediono, Hatta Rajasa, Sri Mulyani dan Widodo AS dikabarkan turut menjadi sasaran penyadapan. Sebagai mensesneg kala itu, ujarnya, tentu terdapat sejumlah hal yang menyangkut rahasia negara dibicarakan.
"Sebagai sesneg, saya pada waktu itu, banyak membicarakan hal yang berkaitan dengan, katakanlah, tidak semua harus terbuka seperti itu. Tapi, sebetulnya di dalam konteks kita sendiri, kita sudah memiliki UU transparansi terhadap informasi. Tidak diperlukan sadap menyadap," kata Hatta.
"Kalau yang menyangkut kerahasiaan negara, tidak boleh dibuka dan itu dilindungi oleh undang-undang," lanjut Menko Perekonomian tersebut.
Lebih lanjut, ujarnya, penyadapan adalah tindakan yang tidak benar. "Tapi sekali lagi saya katakan, ini perlu kita mengklarifikasi katakanlah dikoordinasikan oleh Kemenkopolhukam. Jadi, saya tentu tidak perlu memberikan over reaction."
Hatta mengatakan, jika tidak berhati-hati dalam memberikan pernyataan, maka dapat memperburuk hubungan bilateral kedua negara tetangga.
"Ada hal-hal yang menurut saya secara proporsional kita harus meletakkan itu pada proporsinya," ujarnya.