REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Meski aktivitas Gunung Merapi pascaletusan freatik yang terjadi Senin (18/11), kini kembali normal. Namun, letusan jenis tersebut dimungkinkan bisa terjadi lagi.
Kemungkinan itu didasarkan pada jenis letusan freatik yang merupakan akumulasi dari interaksi air hujan yang masuk ke kawah Merapi dengan uap panas yang dihasilkan oleh aktivitas magma di kawah tersebut.
"Di musim hujan seperti ini, letusan freatik seperti itu dimungkinkan bisa lagi terjadi," ujar Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, Subandriyo, Rabu (20/11).
Namun, pihaknya tidak bisa memprediksikan kapan kemungkinan itu terjadi. Pasalnya, alat yang ada di Gunung Merapi hanya bisa digunakan untuk memantau pergerakan magma dan bukan gas panas yang dihasilkan oleh magma tersebut.
Meski begitu, Subandriyo menegaskan bahwa letusan freatik Merapi tidak diikuti oleh gerakan magma ke permukaan. "Sekali lagi itu merupakan aktivitas luar atau permukaan saja hasil interaksi air hujan dengan gas panas dari magma itu sendiri," tandasnya.
Gempa tektonik yang sempat terjadi, kata dia, hanya sebagai pemicu sesaat dan bukan penyebab utama. Meski demikian, tidak semua air hujan yang masuk ke kawah Merapi bisa menyebabkan letusan freatik. Hanya hujan dalam intensitas tinggi yang masuk ke kawah Merapi di saat yang bersamaan akumulasi gas di dalam kawah tersebut cukup tinggi bisa menyebabkan interaksi, sehingga terjadi letusan freatik.
"Hanya saja alat seismik yang kami miliki tidak bisa mencatat terjadinya interaksi itu dan itu problem buat kami," ujarnya.