REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keenganan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggunakan media sosial untuk sosialisasi tahapan Pemilu perlu dipertanyakan. Pasalnya kehadiran media sosial di tengah masyarakat saat ini sudah seperti menggurita.
Sekjen Centre for Information and Cultural Studies (CICS), Hidayat Nahwi Rasul, mengatakan, suatu hal yang aneh jika KPU tak mau menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, dan lainya untuk bersosialisasi.
"Ini justru menimbulkan pertanyaan besar. Sosialisasi di media sosial selain murah, cepat, luas, KPU juga bisa mendapatkan respons secara cepat dan langsung dari pemilih yang juga pengguna media sosial," ujar Hidayat, Kamis (21/11).
Saat ini, kata Hidayat, ada 65 juta lebih orang yang memiliki akun Facebook. Sementara pemilik akun Twitter ada 19,5 juta. Mereka semua berusia rata-rata 18 hingga 24 tahun yang termasuk pemilih pemula dan pemilih potensial. Data terbaru media sosial saat ini, lanjutnya, mendudukkan Indonesia menjadi rangking tiga Facebook sedunia, dan ranking pertama Twitter se Asia Pasific.
Ketua Forum Telematika Kawasan Timur Indonesia (KTI) ini, mengatakan, kengganan KPU menggunakan media sosial justru menunjukkan prilaku KPU yang arogan.
"Boleh dikata ini menutup ruang demokrasi yang substansial," ujarnya.
Salah satu tupoksi KPU adalah sosialisasi secara luas tentang tahapan Pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Begitu pula siapa peserta pemilu bahkan track record peserta pemilu dapat dipahami dengan baik dengan sosialisasi di media sosial.
Karena itu, alumni Universitas Hasanuddin ini mengatakan, tindakan KPU tersebut merupakan upaya kontra produktif kalau dihubungkan dengan tupoksinya menyelenggrakan pemilu yang sukses dan berhasil.
"Sudah saatnya KPU menggunakan media sosial untuk sosialisasi. Agar rakyat bisa mengetahui haknya dengan baik dan menggunakannya pada orang dan partai yang tepat. Tidak lagi seperti membeli kucing dalam karung. Itu bisa dilakukan melalui media sosial,'' ujarnya.