REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komnas Perempuan, Andy Yetrianni berpendapat, izin yang dikeluarkan Kapolri kepada para polwan untuk mengenakan jilbab sudah tepat.
Meski belum ada peraturan resmi, namun secara lisan Kapolri sudah mengizinkan para polwan menutup auratnya selama bertugas. Menurut Andy, ada dua hal yang harus diperhatikan pihak kepolisian.
"Paling utama ialah tidak mewajibkan dan tidak melarang Polwan berjilbab. Langkah yang diambil Kapolri cukup baik," tuturnya di Jakarta, Sabtu (23/11).
Yang kedua, kata Andy, harus dilihat masalah pelayanannya. Jangan sampai jilbab menjadi sandungan untuk Polwan turun ke lapangan. Andy berkata, polisi yang dilihat masyarakat adalah pelayanannya.
Dikatakan Andy, yang menjadi masalah subtansial harus dipikirkan Kapolri juga. Apakah kehadiran simbol agama tertentu, akan menjadi problem.
"Ya jangan sampai jilbab menimbulkan ketegangan baru," sebutnya. Sebab, polisi diharapkan akan netral untuk menangani kasus. Jika polisi sudah netral yang harus dipikirkan adalah masyarakatnya yang memandang.
Bayangkan, kata Andy, jika ada konflik SARA seperti di Poso, dan yang turun ke lapangan adalah Polwan berjilbab. Bukan polwan berjilbabnya yang disalahkan, tapi bagaimana nantinya pikiran masyarakat yang minoritas melihat polwan berjilbab, sementara didekatnya ada konflik terkait SARA, dan jilbab merupakan simbol.
"Pihak kepolisian dapat berlaku netral, akan jadi susah kalau ada simbol tertentu yang diusung," sebut Andy.
Jika sudah seperti ini, pelarangan polwan berjilbab untuk ke lapangan juga merupakan pelanggaran. Sebab, karier polisi ditentukan kinerjanya di lapangan.
"Ini yang harus dipikirkan, bukan memikirkan masalah desain baju atau kapannya Perkap keluar untuk polwan berjilbab," tutup Andy.